Menggelitik, ketika mendadak mendengar isu bahwa Kompasiana mewajibkan para penulisnya untuk menulis setiap hari. Berawal dari tulisan Pak Tjiptadinata Effendi (76), Kompasianer senior yang telah menelorkan lebih dari 4300-an artikel, dalam sebuah tulisan "Menulis Hingga Lupa Diri", 05 September 2019.
Bukti nyata hampir terpenuhi, ingat-ingat sepulang kerja, setelah mandi dan makan, seringlah bertahan hingga tengah malam melakukan ritual kegiatan menulis untuk Kompasiana.
Itu pun lihat-lihat situasi, kalau istri tak siap diajak ngobrol, dan badan ini tak begitu lelah menuangkan ide, bebaslah kalau ingin melakukan aktifitas menulis.
Tak ubahnya, selayak kegiatan istri yang kadang-kadang menonton TV, mencorat-coret sketsa baju pilihannya yang akan dijahit, atau pun menyiram tanaman yang tampak mulai mengering, seperti itulah menulis.
Sementara anak-anak sudah dewasa, tak ada lagi yang perlu lagi digendong-gendong atau menemaninya belajar karena ada PR dari sekolah.
Paling-paling sepulang anak kerja biasanya ngobrol-ngobrol sejenak, dan lanjut melakukan aktifitas santai dengar-dengar musik kesukaan atau lainnya.
Semua aktifitas sore hari, dilakukan di ruangan satu atap, dan terlihat, serta tak ada kesan seolah ada yang disembunyikan. Bebas-bebas saja, semisal ingin menulis tiap hari atau seminggu bahkan setahun sekali tak ada sanksi hukumnya.
Bahkan dalam tulisannya, Pak Tjiptadinata ingin melawan pandangan yang salah-kaprah, harus menulis tiap hari agar mendapatkan penghargaan K-Rewards, yang nyata-nyata tak terbukti.
Kalau Pak Tjiptadinata, 4300-an artikel, secara pribadi masih jauh banget, lha cuma 395 termasuk satu tulisan yang akan tayang. Itu pun maksimal yang bisa dicapai, dengan kondisi kalau tak lelah dan malas, dan memungkinkan karena tak ada kegiatan di luar rumah.
Tak ada yang istimewa dari seorang penulis, kecuali sehat jiwa-raga. Ide menulis, muncul bukan hanya dari kegiatan membaca saja, tapi dari pengamatan.
Itulah sebabnya, seorang penulis tak boleh malas, atau berdiam diri, karena di sekitar dan semua aktifitas yang ditemui, mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang bisa dibagikan lewat tulisan.
Sehatnya pasti, gerak badannya dan mengurai pikiran selama proses menulis mampu mengusir sel-sel pikun. Bahagia pun dirasa, ketika tulisan yang dibuat berakibat banyak kemanfaatan bagi pembacanya.
Tak ada yang perlu dirisaukan, beruntunglah sebagai penulis, bebas menulis kapan dan di mana saja sesuai situasi hati dan kenyamanan yang memungkinkan.
Daripada membeli sehat, dengan aktifitas yang berbiaya, lebih baik menulis. Apalagi kalau sampai sakit, dan ingin sehat yang pastinya harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Menulis itu menyehatkan, lelah pun lenyap berganti berkah, apalagi bila dilakukan dengan tulus ikhlas. Sejatinya, menulis itu mampu mengubah lelah jadi berkah.
Ketika kita sedang menulis sesuatu yang lain, sementara tulisan-tulisan yang terdahulu mungkin saja mengikuti nasibnya, memberi kemanfaatan dan berkah kehidupan bagi sesama.
Bandung, 06 Sept 2019
Link Pustaka :
1. MenulisHinggaLupaDiri. 2. BanggaMeraihPenjelajah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H