Seharusnya! Sekadar kata penghibur sebatas wacana, ketika sesuatu yang biasa kita lakukan gagal terlaksana. Padahal sebelumnya bermacam kegiatan, sejatinya telah berubah menjadi kebiasaan rutin.
Kalau badan berasa kurang sehat, saat hendak pergi bekerja, jangan salahkan menu sarapan pagi yang cuma itu-itu saja. Telor mata sapi yang kuningnya tak rata, terkadang tampak bagai wajah berbibir nyinyir menghina.
Kebiasaan baik, lari pagi telah sirna. Biasanya rutin jam setengah enam, tak perlu lama, cukup dua puluh menit. Lanjut persiapan, mandi, ganti baju dan sarapan. Setelahnya minum kopi, dengar berita TV dan cabut dari rumah. Kerja semangat, sehat fisik dan psikis! Seharusnya kebiasaan lari pagi tetap konsisten dilakukan.
Sehatnya fisik tak lepas dari lincahnya kita bernafas. Terkadang ada penghalang, Â seolah paru-paru tak mampu menampung udara yang ingin kita hirup sebanyak-banyaknya. Sesak dan tak nyaman.
Kebiasaan bernyanyi atau bersenandung, yang dulu rutin dilakukan sepulang kerja, tak sempat lagi. Banyak alasan, malas, lelah setelah bekerja seharian, dan bosan.Â
Bahkan, nyanyi-nyanyi santai bisa juga dilakukan sebelum berangkat kerja. Rupanya, kegiatan menyanyi mampu melenturkan gerakan paru-paru, menyehatkan dan membahagiakan. Seharusnya kebiasaan bernyanyi tetap konsisten ditekuni.
Ada lagi, senam bola mata! Lebih populer disebut membaca, karena bola mata bergoyang. Tersedia surat kabar atau info-info dari gadget. Namun, semua hanya dilirik saja, tanpa dibaca penuh. Mata malas menelusuri rangkaian kata-kata dari media cetak. Apalagi dari gadget yang huruf-hurufnya tak nyaman di mata karena memantulkan sinar.
Cuma dengar-dengar, dan mengandalkan ingatan atau pengalaman, tak cukup rupanya. Maksudnya, sebagai bahan tulisan. Akibatnya tulisan berasa kering dan gersang tanpa makna. Seharusnya kebiasaan membaca tetap konsisten dilakukan sebagai bahan ramuan pencetus ide tulisan.
Kasus tak lagi melakukan kebiasaan lari pagi, bernyanyi dan membaca, hanyalah sebagian dari banyak kebiasaan baik yang perlu dilanjutkan. Apa pun alasannya tak pantaslah bila kebiasaan baik itu cukup dilawan dengan kata seharusnya, tanpa sikap aktual.
Keluh kesah terhentinya kebiasaan baik, biangnya banyak hambatan kesehatan, dan kemampuan prima lainnya seperti menulis dan lain-lain.
Masalahnya, untuk memulai kembali kebiasaan baik yang telah sekian lama terhenti, disadari memang sangat sulit. Pilihan ada pada diri masing-masing, terpuruk atau terbebas. Disadari ataupun tidak, hilangnya kebiasaan baik telah berubah wujud menjadi kebiasaan buruk yang tampaknya nyaman tetapi merugikan.
Solusinya, ingat dan pahami dampak manfaat dari kebiasaan-kebiasaan baik yang pernah dilakukan. Jangan patah semangat. Bangkit dan raihlah kembali semua kebaikan, demi kesehatan dan kebahagiaan yang kita dambakan.
Bandung, 20 Nop 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H