Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Belajar dari Kemuliaan Pemilu 1955

4 Februari 2019   06:52 Diperbarui: 4 Februari 2019   07:03 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Adlan Daie, (Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat)

Dilaksanakan dalam empat tahap, yaitu Pemilu untuk memilih anggota DPR  pada 17 September 1955 disusul tiga bulan berikutnya, 15 Desember 1955 pemilu untuk memilih anggota Konstituante (MPR). Selanjutnya pemilu untuk memilih  anggota  DPRD dilaksanakan untuk wilayah barat pada bulan juni  1957 dan wilayah timur pada bulan juli 1957. 

Tingkat partisipasinya sungguh sangat mengangumkan, yakni sebesar 87,77% dengan tingkat kesalahan(suara tidak sah) hanya 2,4% dari 60% pemilih, buta hutuf dan miskin terhadap banyaknya opsi pilihan peserta pemilu.

Dalam konteks pemilu 1955 yang bersifat nasional,dari sisi prosentase perolehan suaranya relatif sama, baik Pemilu untuk memilih angggota DPR maupun Pemilu untuk memilih anggota Konstituante (MPR), meskipun dilaksanakan tidak bersamaan, berjarak waktu selang tiga bulan, yakni  secara berurutan empat besar yakni PNI (22%), Masuymi (20%), NU (18%) dan PKI (16%). 

Inilah cermin "kemuliaan" dari konsistensi dan kecerdasan pilihan yang digerakkan kontestasi gagasan berbasis ideologi partai yang hari-hari ini mulai tergerus dan tenggelam oleh pencitraan semu dan permainan pialang politik dalam proses Pemilu 2019 sehingga pilihan politiknya mudah zig-zag mengikuti alur fluktuasi harga indeks saham di pasar politik yang tuna ideologi, miskin kontestasi gagasan dan "fakir" dialektika pikiran programatik yang mencerahkan.

Demikianlah sedikit "kemuliaan" warisan Pemilu 1955 yang setelah 64 tahun berlalu seharusnya dengan tingkat sumber daya manusia (SDM) dan peradaban politik yang lebih maju, pemilu 2019 yang akan kita hadapi bersama makin meningkatkan  taraf kedewasan dan kesadaran para politisi (dan kita semua) bahwa kontestasi Pemilu bukanlah ajang untuk mencaci maki satu sama lain (yaskhor qaumun min qaumin), bukan pula kontestasi "membeli" suara rakyat untuk tujuan "at takatsur". 

Yakni bermegah-megahan diri melainkan instrument ibarat lokomotif yang bertanggungjawab menarik gerbong panjang persoalan rakyat yang diwakili dan dipimpinya karena sejatinya kepemimpinan dan prinsip keterwakilan dalam sistem demokrasi adalah kontrak politik untuk maslahat bagi yang dipimpin dan diwakilinya (tashorruful imam 'ala ar roiyah manutun bil maslahah).

Penulis : Adlan Daie (Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun