Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Cak Imin dan Kontestasi Pilpres 2019

2 Juli 2018   11:16 Diperbarui: 2 Juli 2018   11:24 1025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis : Adlan Daie, ( Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat )

Pasca pilkada serentak 2018, opini publik digiring massif oleh media-media mainstrem ke arah marginalisasi politik PKB dalam kontestasi Pilpres 2019 dengan memblow-up kekalahan Gus Ipul (Jatim) dan Ida fauziyah (Jateng) adalah kekalahan PKB atas PPP di basis utama PKB. Narasi politiknya diletakkan seolah-olah baik PKB  maupun Cak Imin sebagai Ketua Umum PKB  bukan faktor signifikan bagi sukses Jokowi dalam kontestasi Pilpres 2019. 

Sebuah narasi untuk menjawab berbagai statement Cak Imin di berbagai kesempatan yang "mengingatkan" Jokowi betapa seriusnya arus kuat politik Islam identitas yang jika tidak direspons dengan konstruksi desain politik yang merepresentasikan personifikasi Islam santri, akan mengalami "nasib politik" yang sama seperti kasus Ahok di DKI, 2017.

Memang, pasca Pilkada serentak 2018, narasi politik nasional hari-hari ke depan akan diwarnai analisa dan penggiringan opini tentang opsi dan kemungkinan figur cawapres duet Jokowi dalam kontestasi Pilpres 2019. Dalam konteks inilah, dengan sedikit mengadaptasi tesis Herbeit Pert, analis politik dari Australia Monash University, tentang "politik aliran" dan varian-varian turunannya, setidaknya untuk menghindari perbandingan lurus kompleksitas pilkada dengan segala isu dan zig zagnya koalisi partai pengusungnya, terdapat empat hal yang harus dipertimbangkan Jokowi dalam menentukan opsi cawapresnya dalam kontestasi Pilpres 2019.

Pertama, tertutupnya peluang Jusuf Kalla (JK) untuk kembali menjadi cawapres Jokowi di Pilpres 2019 setelah gugatan pendukungnya ditolak Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu, praktis mempersempit opsi-opsi Jokowi dalam menentukan cawapresnya yang berlatar belakang santri yang tidak rentan dukungan partai berbasis Islam. Mengalihkan opsi cawapres diluar figur rumpun santri, misalnya, dari unsur profesional atau elit partai "nasionalis" akan membuka kotak pandura perlawanan sengit koalisi umat yang diikat solidaritas gerakan 212 yang tersambung dengan isu-isu kepentingan partai oposisi (Gerindra dan PKS).

Kedua, fenomena menguatnya basis elektoral calon kepala daerah usungan Gerindra dan  PKS di beberapa daerah, meskipun tidak memenangkan kontestasi dalam Pilkada serentak 2018, adalah sinyal kuat betapa "politik aliran" bukan saja tidak mati, bahkan akan menemukan momentum penguatannya dalam kontestasi Pilpres 2019. Inilah yang harus dipertimbangkan dalam kemungkinan opsi-opsi cawapres Jokowi. 

Semata-mata mempertimbangkan tingkat elektoral cawapres yang dibranded lembaga survey yang dalam kasus Pilkada serentak 2018   terbukti meleset jauh diluar angka " margin eror", dan karena itu tidak menjamin kemenangannya, lebih dari itu, bahkan menyisakan polarisasi sosial yang lebih ekstrim dan tajam sehingga untuk mengobati harmoni sosialnya akan memakan waktu yang sangat lama, tentu dengan ongkos sosial yang tinggi pula.

Ketiga, Opsi yang paling logis bagi cawapres Jokowi dalam memenangkan kontestasi Pilpres 2019,  bahkan bagi kebaikan bangsa dan negera ke depan di tengah-tengah menguatnya "politik aliran", adalah dari unsur rumpun santri. Dalam rumpun ini antara lain terdapat Cak Imin, Din Syamsudin, Zulkifli Hasan, Romahurmuziy dan Tuan Guru Bajang (TGB) dengan segala tingkat probabilitasnya. 

Din Syamsudin dan TGB, adalah tokoh santri moderat yang sangat baik dengan reputasi nasional bahkan internasional, akan tetapi dalam konteks cawapres keduanya tidak diback-up kekuatan partai politik yang memegang peran kunci dalam kontestasi Pilpres 2019. 

Di pihak lain, tokoh sekelas Zulkifli Hasan  dan Romahurmuziy, meskipun posisi politiknya sebagi ketua umum partai berbasis Islam, dalam konteks Pilpres  Zulkifli Hasan terkunci oleh manuver Goodfather PAN, Amin Rais, motor penggerak Gerakan Ganti Presiden 2019. 

Sementara Romahurmuzy selain relatif baru di pentas politik nasional, juga mewakili PPP,  partai hasil "kreasi politik" Rezim orde baru dalam bentuk fusi partai-partai berbasis Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muslimin Indonesia (MI) Syarikat Islam (SI), dan lain-lain.  Karena itu, basis konstituen PAN dan PPP dalam sejumlah hasil  riset lembaga-lembaga survey lebih berwajah "Islam Kota",  sangat besar resistansi dan "daya tolak" pilihannya terhadap Jokowi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun