Sering kita dengar ada anak yang membuang sampah makanannya ke Danau Toba saat sedang menyeberang dari Parapat ke Pulau Samosir, lalu tiba-tiba kapal yang mereka tumpangi mendadak berhenti. Benar atau tidak, orang-orang menganggap penunggu Danau telah marah. Tanpa harus mencari kebenarannya, kita tahu bahwa cerita semacam itu terus direproduksi agar tidak ada yang membuang sampah ke dalam Danau.Â
Tidak bisa dipungkiri, cerita itu cukup efektif hingga jarang kita temukan orang yang buang sampah ke Danau kalau sedang menyeberang. Kalau sedang tidak menyeberang?Â
Sekarang kita bisa lihat di pinggiran Danau Toba banyak sampahnya. Sangat gampang hari-hari ini kita melihat orang membuang sampahnya di mana-mana tanpa merasa bersalah. Pernah penulis saksikan seorang ibu menyuruh untuk membuang bungkus makanan anaknya di sembarang tempat. Hal ini adalah gambaran kecil yang secara eksponen bisa menjadi bencana besar bagi seluruh dunia.
Isu lingkungan semacam ini menjadi perhatian global dan dikampanyekan secara luas pada tahun 1960-an, pada saat Rachel Carson menerbitkan buku yang berjudul Silent Spring pada tahun 1962. Namun jauh sebelumnya, sekitar 5.000 tahun lalu, kesadaran ekologis sudahlah muncul dalam catatan manusia. Para pemuka agama Weda memuji hutan liar dalam nyanyian mereka, para pengikut Tao mendesak agar kehidupan manusia mencerminkan pola alam dan Budha mengajarkan kasih untuk semua makhluk hidup.
Di tengah berbagai isu lingkungan yang semakin mendesak, seperti perubahan iklim, polusi, dan kerusakan ekosistem, sampai pada kehilangan keanekaragaman hayati, semakin penting-lah pendidikan berkelanjutan yang mengedepankan kesadaran lingkungan. Bukan sekadar memperkenalkan materi lingkungan di sekolah, lebih dari itu, yakni membangun generasi yang memiliki empati, tanggung jawab, dan komitmen tinggi untuk menjaga kelestarian bumi.
Paus Fransiskus meluncurkan Laudato Si' pada tahun 2015, lewat ensiklik ini Fransiskus mengajak seluruh masyarakat, termasuk lembaga pendidikan seperti sekolah, untuk terlibat dalam menjaga dan melestarikan lingkungan demi generasi mendatang. Laudato Si' menekankan pentingnya menumbuhkan kesadaran dan sikap peduli lingkungan pada anak. Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki peran penting untuk mengajarkan nilai-nilai keberlanjutan dan menciptakan generasi yang memiliki tanggung jawab lingkungan.
Mengapa Pendidikan Berkelanjutan dan Kesadaran Lingkungan Penting?
Pendidikan berkelanjutan bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat, terutama generasi muda, akan pentingnya menjaga keseimbangan alam dan hidup secara harmonis dengan lingkungan. Seperti kata Zeno (450 SM), "Tujuan hidup adalah tinggal berdampingan dengan alam." Dengan pendekatan ini, kita dapat meminimalisir dampak negatif dari aktivitas manusia terhadap lingkungan dan menjaga keberlanjutan sumber daya alam untuk generasi mendatang.
Senada dengan Fransiskus, menurut UNESCO, pendidikan berkelanjutan tidak hanya mencakup aspek pengetahuan, tetapi juga sikap, keterampilan, dan tindakan nyata. Dengan pendidikan berkelanjutan, anak diharapkan dapat mempraktikkan kebiasaan ramah lingkungan dalam kehidupan sehari-hari, baik di sekolah maupun di rumah. Selain itu, mereka juga dilatih untuk berpikir kritis dan mengambil keputusan yang memperhatikan aspek lingkungan dalam berbagai situasi.
Tantangan dalam Pendidikan Berkelanjutan di Indonesia
Di Indonesia, salah satu tantangan terbesar dalam mengembangkan pendidikan berkelanjutan adalah kurangnya pemahaman masyarakat akan pentingnya pelestarian lingkungan. Hal ini diperparah oleh minimnya infrastruktur dan fasilitas yang mendukung pembelajaran lingkungan, terutama di daerah-daerah terpencil. Banyak sekolah di Indonesia yang belum memiliki program khusus untuk pendidikan lingkungan, dan ini menjadi tantangan besar bagi para pendidik untuk menyisipkan materi-materi lingkungan ke dalam kurikulum.