Nasionalisme oleh Profesor Yuval Noah Harari disebut sebagai salah satu penghalang dari setiap solusi untuk tantangan kemajuan teknologi yang harusnya melibatkan kerja sama global.
Sebelum lanjut ke tantangan yang akan kita hadapi beberapa puluh tahun yang akan datang (bahkan sekarang pun sudah terasa), tulisan ini sebenarnya merupakan tanggapan atas pro kontra pernyataan Agnez Mo.
Ia dalam sebuah wawancara di Amerika menyatakan bahwa dia tidak berdarah Indonesia melainkan campuran Jepang, Cina, dan Jerman. Lalu pada gilirannya banyak orang menanyakan (baca: mempermasalahkan) "nasionalisme" pelantun lagu "Karna Ku Sanggup"Â itu.Â
Tanggapan mengenai ini sudah saya tuturkan dalam tulisan saya sebelumnya pada link ini. Intinya, saya merasa Agnez atau Mo (terserah kalian memanggilnya siapa) lebih nasionalis dari saya karena dia sudah mengharumkan nama baik Indonesia sedang saya masih hanya bisa menulis tulisan ini.
Nasionalisme ala saya ya berkarya sebanyak-banyaknya demi kemaslahatan hidup orang banyak, at least tidak menyusahkan orang lain cukuplah.
Sekarang yang (menurut saya) lebih penting dibahas adalah pertanyaan "Apakah Nasionalisme Masih Relevan?", Â mengingat banyaknya persoalan dunia yang harus diselesaikan bersama-sama secara global.
Harari bukan mau menyalahkan nasionalisme. Nasionalisme itu penting untuk mengikat rasa saling memiliki, sepenanggungan, dan lainnya. Tapi tidak jarang nasionalisme jatuh pada kesombongan.Â
Menganggap saya lebih berhak tinggal di negara yang saya miliki, menganggap bahwa negara saya lebih baik dari yang lain, bahwa untuk itu semua orang di negara ini harus menunjukkan (entah itu di akun media sosial atau di jidat masing-masing) benar-benar mencintai dan pro terhadap negara saya alih-alih memproduksi karya positif yang bisa membantu yang lain merasa nyaman untuk hidup berdampingan dengannya.
Trump dengan slogan "Make America Great Again" menunjukkan bahwa memang nasionalisme kadang membuat manusia menjadi tidak manusiawi. Sampai saat ini ia masih tidak percaya dengan climate change yang mengancam kelangsungan hidup generasi mendatang dan ingkar terhadap Paris Agreement.
Kemudian dia mau membangun tembok agar orang Meksiko tidak masuk ke negaranya, imigran ditolak. Begitukah Amerika "Yang Besar" itu memperlakukan manusia?
Di tengah persoalan-persoalan global yang ada, kolaborasi antarnegara mutlak diperlukan. Perang Nuklir yang ada di depan mata menjadi tantangan tersendiri.
Bagaimana tidak, semua negara sedang mengembangkan bom nuklir di mana-mana. Ingat drama Korea Utara dan Amerika? Moga-moga tetap menjadi drama jangan sampai nyata.
Perubahan Iklim yang ekstrem sudah kelihatan hari-hari ini. Angin topan dan banjir bandang semakin kerap terjadi.
Suhu bumi naik terus, akan banyak tempat yang kini dihuni menjadi tidak layak huni. Migrasi manusia secara besar-besaran akan terjadi. Ikan di laut bahkan sudah tidak sehat dikonsumsi karena partikel plastik yanga ada di tubuh makhluk air itu akibat sampah plastik yang semakin menakutkan.Â
Semuanya butuh kerja sama secara global. Lihatlah 17 pilar SDGs yang lagi marak dibicarakan orang, betapa persoalan dunia semakin kompleks.Â
Jadi, masihkah relevan menanyakan nasionalisme seseorang di tengah persoalan-persoalan global ini? Jawab di kolom komentar, hehehe!
Globalisasi sudah menggeser nasionalisme menjadi kosmopolitanisme. Orang muda (baca: milenial) di berbagai negara (link di sini)Â sudah menganggap nasionalisme sebagai yang usang.Â
Mereka lebih percaya pada konsep warga negara dunia. Menjalin persahabatan sudah memungkinkan lewat media sosial, teknologi. Mereka juga percaya bahwa dengan memiliki satu pemerintahan tanpa sekat-sekat negara menguntungkan secara ekonomi hingga mendorong untuk memiliki satu mata uang global.Â
Contoh paling nyata adalah (karena orang muda sekarang suka traveling) biaya pembuatan paspor dan visa karena batasan negara tadi sudah bisa digunakan untuk beli tiket pesawat, misalnya.
Orang muda lebih percaya pada konsep kosmopolitanisme ini. Kuncinya adalah kolaborasi, yang tentunya senada dengan langkah yang harus diambil untuk menyelesaikan berbagai persoalan global. Bukan lepas tangan dan kembali berlindung di balik tembok-tembok pembatas seolah-olah panas matahari tidak akan tembus ke negara mereka.Â
Di tengah persoalan ini tidak penting kita lahir dari perut siapa, apakah aku Batak atau Jawa, tinggal di Jepang atau di Indonesia, tidak ada satu orangpun dari kita yang tahan berdiri di bawah terik matahari berlama-lama. Kalaupun ada paling mahasiswa yang sedang demo karena kebijakan yang tidak bijak dari para pemangku kepentingan.
Di atas semuanya, kebaikan hati dan budi yang luhur merupakan kunci utamanya. Tidak gampang menghakimi orang sebagai yang tidak baik dan pantas.Â
Mem-bully seseorang begitu gampangnya karena lewat media sosial kita cenderung tidak memakai hati ketika mengetikkan kata-kata lewat kedua jempol kita. Marilah sama-sama membangun dunia yang lebih baik lagi.Â
Daripada mengatai Agnez Mo tidak nasionalis lebih baik lagi kalau kita menolak memakai sedotan plastik ketika sedang minum es teh di warung Bu Sari, karena di warung Babe Pardi memang jarang ada sedotan (plastik).
Percayalah Indonesia akan baik-baik saja kalau Agnez Mo tetap bernyanyi, kecuali para elite kita tetap korupsi, nah loh! Sambil nyanyi "Karna Kusanggup" yuk kasih komentar di bawah!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI