Mohon tunggu...
Tomson Sabungan Silalahi
Tomson Sabungan Silalahi Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pembelajar!

Penikmat film dan buku!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Manusia-manusia Tidak Berguna!

18 Mei 2019   11:12 Diperbarui: 5 Desember 2019   00:41 878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedikit berbeda dengan keadaan di Indonesia, pemerintah[4] merasa bahwa rasa nasionalisme orang muda Indonesia aka milenial sudah berkurang.  Berkurang, sepertinya bukan karena milenial di Indonesia sudah berpikiran lebih terbuka, namun lebih kepada dicekcoki dengan paham-paham radikal yang menganggap bahwa kebenaran ada di pihak mereka dan milik mereka sendiri, malah lebih tertutup. Semua yang berbeda dengan agama dan atau suku sendiri adalah salah, sampai tidak mampu melihat sisi positif dari suku dan atau agama yang berbeda. Singkatnya sejumlah milenial Indonesia menganggap ideologi Pancasila[5] yang dianut bangsa ini sudah tidak relevan lagi dan harus diganti, di luar masalah ekonomi, yakni kesenjangan sosial yang ada juga karena masuknya paham-paham tertentu yang berusaha menggantikan Pancasila itu sendiri.

Menambah itu, ada pula kelompok-kelompok yang merasa selalu ditindas di negara sendiri hingga ingin melepaskan diri dari kesatuan Republik ini, Papua misalnya. Perlakuan represif[6] yang dialami orang Papua menambah tekad mereka untuk keluar dari kesatuan. Realitas bahwa mereka mengalami tindakan-tindakan represif tidak bisa dimungkiri lagi. Pasalnya, pemerintah sering memungkiri tindakan-tindakan represif ini di satu sisi, namun di sisi yang lain masyarakat Papua menganggap ini ada realitas karena mereka adalah realitas yang merasakan penderitaan itu.

Kita selalu lebih cenderung membela dan mempertahankan fiksi daripada realitas. Lebih mementingkan nasionalisme yang menurut Yuval adalah fiksi daripada manusia yang merasakan penderitaan yang adalah realitas itu sendiri. Contoh konyol lainnya, kita lebih marah ketika alkitab kita dibakar orang daripada ada orang yang dibakar hingga mati karena membakar alkitab.

Maka nasionalisme ada di dua arus yang mirip tapi berbeda. Milenial yang lebih terbuka dan milenial yang lebih tertutup. Keduanya merasa dengan rasa yang berbeda namun esensinya sama bahwa nasionalisme yang ada sekarang sudah tidak relevan lagi. Tantangan zaman yang membingungkan bukan?!

Jujur: Mengatasi Masalah dan Menjawab Tantangan Kita

Masalah-masalah sebelumnya belum tuntas diselesaikan malah muncul tantangan baru yang butuh untuk dicarikan solusinya. Disrupsi teknologi, perubahan iklim, dan perang nuklir yang sudah di depan mata butuh solusi sesegera mungkin. Bagaimana Indonesia boleh perpartisipasi menjawab tantangan itu sementara kita masih bergelut dengan rasa nasionalisme kita yang kian berkurang dan hilang?

Nasionalisme ibarat cinta, tidak akan tumbuh jika sang kekasih (baca: pemerintah) tidak bisa menjamin yang mencinta untuk memperoleh hak-haknya sebagai warga negara. Bebas dari tindakan represif, misalnya. Secinta apapun saya terhadap sang pacar, kalau saya selalu dipukul dan disakiti, cinta itu akan saya lepaskan, harus malah. Lebih baik saya mencari cinta yang lain. Untuk apa mencintai kalau derita yang didapat?!

Bukan mau menyederhanakan masalah, tapi masalahnya ada pada diri kita sendiri. Tidak jauh-jauh, semua karena ego. Semua orang ingin lebih kaya, lebih berpengaruh, dan lebih disegani dari yang lain. Demi kenyamanan diri, apapun dilakukan. Ketika kita mau melawan ego kita, tantangan-tantangan hidup bersama akan gampang diselesaikan.

Kalau masih mencintai Indonesia dan mau ia tetap utuh, sudah saatnya kita melihat diri sendiri secara jujur. Mengakui kekurangan kita, meminta maaf jika memang pernah melakukan kesalahan. Mulai berlaku adil, saran Pram, sejak dari pikirian, sambil menunggu robot-robot yang canggih (yang mungkin akan) menguasai peradaban, mari kita selalu berusaha menemukan diri kembali. Senantiasa menanyakan hakikat kita hidup di dunia ini. Untuk apa?

…

Untuk solusi pada manusia-manusia tidak berguna versi Yuval pada judul tulisan ini, mumpung lagi masa-masa politik. Akan banyak orang yang menawarkan diri untuk mewakili suara-suara kita, menawarkan diri untuk melayani rakyat, jadi Bupati, Walikota atau Gubernu. Coba sesekali dalam kunjungan mereka untuk meraup suara, ajukan pertanyaan ini: Apa yang akan dilakukan untuk menjawab tantangan-tantangan dunia saat ini seperti disrupsi teknologi, perubahan iklim, dan perang nuklir yang mengancam? Akan munculnya manusia-manusia tidak berguna karena kehadiran robot-robot pekerja yang lebih cerdas? Karena kalau ditanya komitmen untuk tidak korupsi, semua pasti menjawab dan dengan berapi-api menjawab tidak akan melakukannya bahkan sampai berjanji untuk tidak menerima gaji se-rupiah-pun. Kalau mereka tidak bisa menjawab, jangan pilih!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun