Mohon tunggu...
Tomson Sabungan Silalahi
Tomson Sabungan Silalahi Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pembelajar!

Penikmat film dan buku!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kita, Pada Persimpangan Jalan

16 November 2016   19:32 Diperbarui: 16 November 2016   19:43 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dulu, kemarin dan sekarang begitu terasa, sangat berbeda. Fenomena-fenomena yang terjadi belakangan, berhasil mengejutkan banyak orang karena terjadi begitu saja tanpa boleh terprediksi sebelumnya. Seolah-olah datang begitu saja, tanpa komando, tapi benarkah tanpa komando, atau benarkah tidak bisa diprediksi?

Gambaran semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan (semua budaya dari yang paling buruk hingga yang paling baik) dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Tampak ketika pilkada di DKI Jakarta yang mendapat sorotan terbanyak daripada pilkada-pilkada lainnya, sampai ada jargon pilkada rasa pilpres sankin masifnya perbincangan mengenai pilkda DKI Jakarta. Mata banyak orang tertuju pada Jakarta,  juga karena banyaknya pertunjukan kebudayaan dari berbagai daerah diadakan di Jakarta (dan kota-kota besar lainnya).

Seiring dengan itu, kalau dicermati lebih dalam, akhir-akhir ini banyak kejadian-kejadian yang menjadi fenomenal setelah disebarkan begitu luas dan masif lewat media massa. Industrialisasi (teknologi) media massa menjadi perpanjangan tangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, hingga membuat dunia semakin kecil. Semua, terasa sudah diatur oleh media massa, dulu radio dan televisi sekarang ditambah lagi melalui media sosial, seperti facebook, twitter, instagram, youtube, dan banyak media online lainnya, informasi yang tersebar viral ini (telah) menggiring opini masyarakat, pembacanya. Apakah informasi itu sudah teruji kebenarannya atau tidak?, nanti dulu. Tapi, lagi-lagi fokus kebanyakan orang adalah kota-kota besar yang dalam kasus ini (lebih fokus) adalah Jakarta. Dan, media-media massa besar punya andil besar dalam hal ini.

Kemudahan-kemudahan yang didapatkan dari produk teknologi itu semakin membuka peluang bagi tiap individu dan kelas-kelas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas dan sekaligus telah ikut mendorong proses demokrasi, di mana setiap individu sama hak dan kewajiban serta memperoleh perlakuan yang sama (seharusnya).

Cepatnya informasi mengintervensi (langsung maupun tidak langsung) kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme (orang mengambil hal-hal yang baik menurutnya dari berbagai sistem) dan pencapuradukan dari pelbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya (atau kelompok-kelompok lainnya) secara eklusif. Ada kecenderungan menuju pada nilai-nilai universal, bagi kebaikan bersama

. Namun, di sisi yang lain, muncul pula radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini (kita duga) muncul sebagai reaksi ketika orang semakin meragukan kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janji mereka untuk membebaskan manusia. Seyogianya, sains, teknologi dan filsafat yang boleh membebaskan manusia dari segala bentuk ketidakadilan, tapi kenyataannya, masih banyak masyarakat yang merasa diabaikan, tidak mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya.

Sehubungan dengan kebebasan mengemukakan pendapat itu kemudian muncul juga banyak kecenderungan (yang sebenarnya tidak lagi) baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterkatian rasionalisme dengan masa lalu. Banyak yang sedang menggugat (mempertanyakan) relevansi dari tradisi-tradisi lama (termasuk agama). Seiring dengan itu timbul pemberontakan secara kritis terhadap modernitas, ketika banyak yang protes terhadap sikap individualis yang dilahirkan oleh mondernisme itu, dengan itu memudar kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (utama) dan diterimanya pandangan pluralisme sebagai kebenaran yang relatif.

Pada semua fenomena di atas, yang paling disoroti adalah agama (hasil pemikiran religius) yang merupakan ajaran kebenaran yang sudah ada sebelum teknologi modern (hasil pemikiran rasional) ditemukan.  Perkembangan agama dan teknologi selalu terjadi, namun perkebangan teknologi lebih cepat berkembang. Agama berusaha mengikuti ritme perkembangan teknologi dengan turut menggunakan produk-produk teknologi itu sendiri. Tetapi di sisi lain, banyak juga kisah-kisah dalam kitab-kitab agama yang menceritakan tentang (prediksi) perkembangan teknologi itu sendiri, semua akhirnya terasa tercampur aduk jadi satu seperti tidak bisa dipisahkan.

Silahkan, pembaca menyimpulkan sendiri, yang pasti saat ini sudah tercipta dikotomi manusia dipengaruhi oleh kedua unsur di muka. Kelompok yang menemukan (baca: meyakini) bahwa kebenaran itu dari agama saja akan membuatnya menjadi seorang fundamentalis religius. Sebaliknya kelompok yang menemukan bahwa kebenaran itu hanya dari teknologi (pemikiran manusia) maka itu akan membuatnya menjadi seorang fundamentalis rasional.

Setiap orang sampai pada penyimpulan dari informasi-informasi yang diterimanya yang kebanyakan dari  bentuk-bentuk transkripsi dari agama, teknologi dan kombinasi dari keduanya yang lebih kita kenal dengan istilah bahasa (tulis). Sayangnya, bahasa yang digunakan dalam wacana yang beredar akhir-akhir ini seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga banyak mengandung paradoks, yang bisa membingungkan kebanyakan orang. Manusia memang lemah, namun bahasa memperkuat sekaligus bisa menghancurkan peradaban manusia. Maka dari analisis bahasa yang ada, bisa diprediksi apa kiranya yang sedang terjadi. Maka bahasa (secara tidak sadar) menjadi komando yang bisa menggiring opini kita. Maka, masihkah kita berkiblat pada Jakarta yang penuh dengan paradoks-paradoks yang disuguhkannya? Kita berada pada zaman kegalauan. Sadar tidak sadar, sekarang kita berada pada persimpangan jalan.

Jakarta, 16 Nopember 2016

Tomson Sabungan Silalahi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun