Mohon tunggu...
Tomson Sabungan Silalahi
Tomson Sabungan Silalahi Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pembelajar!

Penikmat film dan buku!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menangkal Radikalisme

18 April 2016   23:09 Diperbarui: 7 Juli 2016   01:19 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir  ini hal mengenai radikalisme semakin sering diperbincangkan. Mengapa tidak?, bom bunuh diri di Brussels-Belgia, lanjut bom di Lahore-Pakistan dalam waktu yang berdekatan, dan kiranya masih segar diingatan kita kejadian yang terjadi di Prancis yang menjadi kontroversial karna banyak masyarakat dunia khusunya Indonesia yang simpatik hingga mengganti latar foto profil mereka di akun facebook dengan bendera Negara Prancis. Belum lagi usaha-usaha menyebarkan paham radikal di dunia pendidikan (kampus-kampus) yang sedang hangat yang ditengarai sedang gencar-gencarnya dilaksanakan.

Fenomena bom bunuh diri ini, memang tidak sangat wajar untuk dianggap biasa saja. Maka dihubungkanlah fenomena ini ke paham radikal (radikalisme). Pada KBBI Offline 1.5,  radikalisme adalah “1 paham atau aliran yg radikal dalam politik; 2 paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; 3 sikap ekstrem dalam aliran politik.”

Pengertian nomor 2 ini kiranya menjadi benang merah dari radikalisme dan bom bunuh diri yang sering kita bicarakan itu.  Menjadi takut tidaklah solusi bagi permasalahan ini, yang perlu kita ketahui pertama-tama adalah; Apa yang melatarbelakangi terbentuknya radikalisme?, Bagaimana kita harus menyikapi hal ini?

Merujuk dari pengertian nomor 2 itu, tentu fenomena massive-nya pergerakan paham ini dapat disimpulkan (sementara) bahwa situasi sosial dan politik sekarang ini tidak disukai oleh aktor-aktor radikalisme yang boleh kita saksikan itu, baik yang berada di balik kejadian atau  pelaku sendiri. Apa motif dari pelaku sampai mau mengorbankan diri sekaligus mengorbankan banyak orang yang tidak bersalah karena tindakannya itu selanjutanya akan dibahas, satu yang pasti paham itu sudah merasuk sampai ke kesadaran yang paling dalam dari dirinya.

Keadaan sosial dan politik yang bagaimana sampai-sampai kejadian ini harus terjadi? Mengapa sekarang harus terjadi? Yang pasti kehidupan sosial dan politik sekarang ini tidak stabil, ada ketidak adilan, dari segi ekonomi tidak merata, kesenjangan terlihat di mana-mana setidaknya menurut mereka, syukur-syukur kita juga melihat kesenjangan itu. Kalau hal ini terus ditelusuri, tentu peran negara (baca: pemerintah) untuk mensejahterahkan seluruh rakyatnya belum tercapai bahkan bisa saja sengaja atau (paling tidak mungkin) tidak sengaja membangun keadaan itu (simpulkan saja: pemerintah abai). 

Keluar dari perikop negara kita dan masuk ke tingkat dunia, pemerintah-pemerintah negara di dunia belum bisa mewujudkan cita-cita bonum commune - kesejahteraan bersama seperti yang  juga tertuang dalam Teks Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan….”, justeru ada negara yang kaya sekali dan ada negara yang sangat miskin. Negara kaya menjajah (berusaha menguasai semua sumber daya yang ada) negara miskin. Atau, hal yang paling menyedihkan, negara (baca: pemerintah sebagai pemangku kebijakan) menjajah rakyatnya sendiri. 

Dan akhirnya penulis membaca tulisan pada sebuah harian nasional yang mampu meyakinkan penulis. Ditulis bahwa sebagian besar teroris yang terlibat serangan Paris dan Brussels berasal dari satu kawasan di Belgia, yaitu Molenbeek yang dikenal sebagai daerah miskin, rawan kriminalitas dan perdagangan narkoba. Kenyataan inilah yang kiranya ingin (dicoba) dilawan oleh penganut paham radikal ini. Kalaulah hal ini yang sedang benar-benar terjadi yang dilakukan mereka, niatnya memang sangat baik, tapi yang salah adalah caranya, sekali lagi, cara-nya. Niat yang baik jika dibarengi dengan cara yang salah akan sia-sia bahkan menegasikan niat baik itu sendiri.

Penulis (ketika menulis artikel ini), secara kebetulan membaca jurnal yang ditulis oleh Felix Lengkong yang berjudul Dari Manakah Asal-Usul Moralitas?, apa yang menjadi dasar penulis menghubungakan tulisan ini dengan isi jurnal tersebut adalah,  karna katanya, moralitas adalah kumpulan prinsip dasar tentang baik dan buruk, benar atau salah, yang berawal dari kepekaan (baca: hati nurani). 

Di sinilah, cara yang salah yang dilakukan penganut radikalisme itu mempunyai benang merah yang menjadi penghubung pada moralitas, yang semua orang pasti mempunyai. Pemahaman tentang yang baik dan buruk, benar atau salah yang belum tuntas dari penganut paham ini.

Semua agama melarang (menganggap salah) bunuh diri, melarang membunuh sesama, apalagi bunuh diri sekaligus membunuh sesama seperti kasus bom bunuh diri yang di awal tulisan ini sudah kita bahas.  Yesus (dalam Agama Islam dikenal sebagai Nabi Isa), dalam Injil dituliskan “Barangsiapa menampar pipimu yang satu, berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain, dan barangsiapa yang mengambil jubahmu, biarkan juga ia mengambil bajumu.” (Lukas 6:29), artinya, kejahatan (yang oleh penganut paham radikalisme pandang di muka tadi) jangan dibalas dengan kejahatan (yang oleh banyak orang, apa yang sudah dilakukan penganut radikalisme dalam kasus ini adalah bom bunuh diri). Singkatnya, mengakhiri hidup sendiri dan orang lain bukanlah solusi yang tepat untuk mengubah tatanan sosial dan politik yang sedang ada.

Selanjutnya kata Yesus, “Mengapa kamu berseru kepapa-Ku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakana? Setiap orang yang datang kepada-Ku dan mendengarkan perkataan-Ku serta melakukannya – Aku akan menyatakan kepadamu dengan siapa ia dapat disamakan - ia sama dengan seorang yang mendirikan rumah: Orang itu menggali dalam-dalam dan meletakkan dasarnya di atas batu. Ketika datang air bah dan banjir melanda rumah itu, rumah itu tidak dapat digoyahkan, karena rumah itu kokoh dibangun. Akan tetapi barangsiapa mendengar perkataan-Ku tetapi tidak melakukannya, ia sama dengan seorang yang mendirikan rumah di atas tanah tanpa dasar. Ketika banjir melandanya, rumah itu segera rubuh dan hebatlah kerusakannya.” (Lukas 6:46-49). 

Semua agama memiliki pedoman masing-masing, semua perintah-perintah (baca: pedoman) sudah dituangkan ke dalam kitab-kitab, pun semua negara mempunyai konstitusinya masing-masing, yang semua berbicara tentang bonum commune, semua orang bisa membaca, pedoman tentang yang baik (yang harus dilakukan) dan yang buruk (yang harusnya tidak dilakukan) sudah ada, kesimpulannya kita sudah tahu itu. Namun, seperti kata Yesus, manusia (pemerintah dan penganut paham radikalisme) tidak menjalankan pedoman itu. Keadaan sosial dan politik dunia sekarang ini sama seperti orang yang mendirikan rumah di atas tanah tanpa dasar, ketika banjir melanda rumah itu akan rubuh dan kerusakannya hebat.

Lantas, bagaimana kita menyikapi radikalisme (dampak dari keadaan sosial dan politik yang tidak stabil) ini? Kita bisa memulai pendidikan (keluarga) di rumah. Bagaimana fondasi (kehidupan) yang kuat dibangun dalam keluarga.  

Orang tua menjelaskan (menasehati) anak-anaknya tentang apa yang baik dan buruk, benar atau salah, sedini mungkin, dan tentu harus memberikan teladan, agar jika ada keadaan yang sangat sulit sekalipun (dari dampak politik yang tidak beres) anak-anak itu bisa survive tanpa melakukan cara-cara yang radikal. 

Ajarkan (perkenalkan) juga kepada anak, apa yang disyairkan Sufi kelahiran Afganistan, Jalaludin Rumi (1207-1273) ini, “Esensi agama itu cinta. Anak kandung agama adalah cinta. Sungguh mengherankan jika ada sekelompok orang, dengan mengatasnamakan agama, berperang dan membunuh orang yang berbeda keyakinan. Hiruplah hanya cinta.”

Tentu, peran pemerintah (eksekutif, legislatif dan yudikatif pada konteks Indonesia) sebagai pemangku kebijakan (yang mengatur politik suatu negara) juga perlu diperhatikan, harus melakukan fungsinya dengan baik. Sebab hukum sebab akibat akan selalu terjadi. Dampak-dampak dari kebijakan yang salah atau salah melakukan kebijakan pasti akan selalu buruk. Dengan banyaknya (berbeda-bedanya) persepsi (setiap) manusia, kita tidak bisa secara pasti tahu apa yang akan terjadi, tapi dari pengalaman empirik kita (manusia) bisa melakukan tindakan-tindakan preventive. Agar terbangunlah rumah yang kokoh seperti yang dibangun di atas batu, yang jika hujan badaipun menerjang tidak akan roboh.

 

Jakarta, 3 April 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun