Orang Muda Katolik (OMK) sebagai bagian dari generasi milenial menghadapi tantangan hidup dunia masa kini, yang tengah berpusar-pusar dalam arus deras modernitas, serba digital, serba maya, kehidupan tanpa batas, juga dunia yang masih dibayangi oleh konflik-konflik multikultural. Bagaimana orang-orang-orang muda bergumul, terlibat menakhlukkan tantangan tersebut dan bagaimana orang dewasa menemaninya?
Asian Youth Day (AYD) atau hari orang muda Asia adalah perjumpaan Orang Muda Katolik (OMK) se-Asia. Peserta AYD adalah OMK perwakilan dari Negara di Asia. Acara AYD dibagi menjadi 2 kegiatan, yaitu: (1). Days in Dioceses, 30 Juli - 2 Agustus, peserta mengadakan 'live-in' di 11 Keuskupan di Indonesia, untuk belajar sekaligus berbagi pengalaman dengan masyarakat Indonesia. (2). Days in AYD's Venue 2-6 Agustus, semua peserta berkumpul di JEC Yogyakarta untuk sharing, refleksi, devosi, ekaristi, workshop dan festival. Tema AYD kali ini adalah Joyful Asian Youth! Living the Gospel in Multicultural Asia.
Pementasan sendratari kolosal pada acara penutupan festival  melibatkan 100 penari, 50 pemusik dan 25 penyanyi paduan suara, disutradarai oleh Romo Patricius Hartono Pr., dengan penata musik Albertus Dwiono. Pertunjukan ini juga didukung oleh keluarga besar SMA Sedes Sapientie Bedono.Â
Melalui harmonisasi kekayaan keragaman budaya nusantara berupa gerak tari, lagu, musik dan kostum, kisah panggilan Nuh untuk menyelamatkan alam raya dinarasikan.
Babak kedua - manusia bertopeng 'buto' menghentak-hentak menyeruak masuk mengobrak-abrik harmoni. Ini menggambarkan kesombongan dan keserakahan hidup manusia yang menyebabkan kerusakan alam dan hilangnya hubungan baik antara manusia dengan ciptaan yang lain.
Babak ketiga - panggilan kenabian Nuh untuk menyelamatkan kerusakan. Tarian air dengan alunan tembang Tak Lelo Lelo Ledungibarat tangan ibu yang merengkuh dan menentramkan Nuh dalam kebingungannya. Ini menggambarkan kasih Tuhan  yang menyelamatkan. Kesadaran akan kasih Tuhan ini menuntun Nuh untuk ikut berperan mengasihi dan menyelamatkan sesama ciptaan.
Derasnya arus kemajuan jaman, selain membawa berbagai kemudahan hidup, juga ada dampak yang cukup mengkawatirkan. Teknologi yang serba digital dan maya di sisi yang lain telah berperan menjauhkan anak-anak dari realitas kehidupan, merenggut cinta dan hubungan-hubungan, serta menjadi sarana mudah bagi tersebarnya berbagai kejahatan. Tata kehidupan dunia yang eksploitatif, juga telah menyebabkan berbagai konflik perebutan sumber daya dan kerusakan alam, yang berdampak langsung pada kelompok rentan salah satunya anak-anak. Belum lagi kehidupan yang multikultural, di satu sisi menjadi kekayaan, namun di sisi yang lain dapat memicu perpecahan bila tak dikelola dengan baik.
Bagi orang-orang muda katolik, berusaha terus bersama dalam ikatan perahu OMK dapat menjadi  jalan untuk memperkuat diri dan mengembangkan kepekaan sosialnya. Bagaimana dengan gereja, apakah juga dapat menjadi bahtera besar Nuh yang pintunya selalu terbuka bagi anak muda untuk belajar mengasihi dan menghargai diri sendiri, sesama dan alam sekitarnya dengan cara yang konkrit dan khas anak muda?
Kepercayaan yang diperoleh OMK Bedono untuk mewakili delegasi Indonesia menampilkan pertunjukan seni budaya dalam festival penutupan AYD ke 7 ini tidak datang begitu saja. Gereja St. Thomas Rasul Bedono, sebuah paroki kecil di pinggiran ini sudah berdinamika setidaknya sejak 5 tahun lalu untuk menjadi gereja yang berdialog dengan keseharian umat, kebudayaan dan lingkungan sekitar, yang memungkinkan anak-anak muda belajar mengasihi dan menyelamatkan seluruh ciptaan.
Mengasihi seluruh ciptaan dan menghargai kebudayaan dipraktekkan dalam berbagai kegiatan konkrit seperti kreasi tata altar hijau, misa alam, adorasi alam, festival pangan lokal dan pakaian adat, kesenian rakyat diberi ruang dalam kekhusukan liturgi, pendalaman alkitab melalui berbagai cara kreatif, edukasi hijau di lahan pertanian, gerakanan ketahanan pangan lokal dan lain-lain.
Ensiklik Laudato Si diterjemahkan dalam kegiatan nyata dan dipraktekkan oleh anak-anak muda dalam kehidupan menggereja yang dinamis dan terhubung dengan keseharian. Dinamika dengan alam dan budaya sekitar menjadi media konkrit olah diri dalam menghidupi Sabda Tuhan.
Kru pendukung dan para pendamping juga mendapatkan pengalaman luar biasa, di antaranya merasa sangat bersyukur karena dapat mendampingi anak-anak yang tadinya awan terhadap kesenian hingga dapat menampilkan pementasan besar; dapat menemukan anak-anak dengan bakat-bakat yang tak terlihat sebelumnya baik dalam berkesenian maupun dalam kepemimpinan; juga tumbuhnya kreativitas dalam pembuatan kostum, tata rias, properti dan pengelolaan pertunjukan.
(sumber: diolah dari hasil wawancara dengan Tr. Wahyu Hendratno-manajer pertunjukan, Albertus Dwiono -- penata musik, Andi-asisten musik, Ando-ketua DID AYD Bedono, Marcellina-Asisten Koreografer dan Tere-pemain)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H