Sungguh tak terpikirkan! Pohon natal unik, teruntai apik dari julur-julur petai hijau cerah itu mengundang perhatian banyak orang. Fotonya beredar luas di media sosial, sejak 24 Desember malam. Berbagai komentar dilayangkan. Banyak yang memuji kreatifitasnya, menganggapnya lucu, ada yang menghubungkannya dengan kepekaan terhadap lingkung sekitar, berjiwa nasionalis dan hal positif lain.
Namun ada diskusi (di grup-grup tertutup) yang membahasnya sebagai cari sensasi, bahkan ada yang mengaitkannya dengan ketaatan terhadap garis tata ibadah Gereja Katolik.
Mengapa pohon natal petai menjadi lebih rame, bukankah ada bentuk kreatifias lain misalnya rangkaian botol bekas, koran bekas, carang kayu dan lain-lain? Apakah karena petai sering dikaitkan dengan (maaf) bau jorok atau kadang menjadi bahan candaan? Oleh karenanya sipembuat dianggap sebagai cukup berani dan anti ‘mainstream’?
Pohon natal yang selama ini diidentikkan dengan pohon cemara runcing bersalju itu sendiri tidak ada kaitannya dengan inti ajaran Kristiani. Itu bagian dari hiasan perayaan suka cita. Beberapa sumber mengatakan kebiasaan tersebut berawal dari kebudayaan Eropa Kuno. Tulisan pendek ini memang tidak akan membahas tentang asal-usul pohon natal, tetapi ingin sejenak menelusur, adakah narasi indah yang membingkai pohon petai tersebut sehingga perlu dihadirkan di altar? Atau memang hanya sepenggal gambar tanpa latar?
Romo Patricius Hartono Pr., Pastor Paroki sebuah gereja kecil bernama Gereja Santo Thomas Rasul Bedono, yang terletak di pinggir jalan raya antara Ambarawa-Magelang tersebut mengisahkan ceritanya yang berawal sejak 3 tahun yang lalu.
“Bedo No!” Menjadi ‘Tag Line’ Gerakan Umat
Kata-kata ‘Bedo No’ (berasal dari Bahasa Jawa, yang artinya ‘berbeda to’), menjadi yel-yel yang telah dihayati oleh kalangan umat baik anak-anak, pemuda maupun dewasa. Yel-yel yang diambil dari nama tempat Gereja yaitu Bedono tersebut menjadi ‘bahasa bersama’ yang menggerakkan umat untuk menjalankan dan mencapai visinya, yaitu ‘Menjadi Gereja Yang Membumi, Lestari dan Membudaya”. Gereja yang mendayakan dan berdialog dengan keseharian.
Perumusan bahasa bersama ‘Bedo No’ dapat dikatakan sangat cerdas sekaligus humoris dan genit, karena memiliki banyak arti, akrab dan mudah ditangkap, antara lain: menjadi spirit dan ajakan untuk memiliki mimpi yang berbeda, menghidupi iman secara berbeda, bekerja dengan cara berbeda dan memberi manfaat bagi sekitar secara berbeda. Visi menjadi gereja yang mendayakan hidup dilatarbelakangi setidaknya oleh tiga keprihatinan yaitu:
Pertama, keprihatinan akan kehadiran gereja di tengah masyarakat yang sedang berpusar di tengah badai perubahan zaman – mulai dari kegusaran menghadapi kehidupan yang makin mengglobal tanpa batas, kegamangan memilih berbagai tawaran ‘kenikmataan’, keterasingan di tengah hiruk pikuk teknologi digital, perubahan gaya hidup orang desa yang makin mengkota, degradasi moral, korupsi, kesenjangan ekonomi, berbagai bentuk kekerasan & konflik horisontal, dll.
Upayanya adalah bagaimana agar gereja dapat menjadi teman perziarahan umat dan masyarakat sekeliling menghadapi terpaan perubahan di atas, dengan memiliki ketahanan iman, kebanggaan menjadi diri sendiri, ‘care’ dan ‘eling’ pada sesama, kreativitas untuk mendayakan berbagai potensi yang dimiliki dan mampu mengembangkan berbagai ketrampilan hidup praktis yang diperlukan. Atau istilah Pastur gaul tersebut, “bagaimana tetap memanusia di tengah-tengah situasi yang kadang kurang manusiawi.”