Mereka seperti segerombolan kucing yang baru saja berhasil mencuri ikan dan menggondolnya ketempat sepi....
Ya, ikan itu -- suara rakyat -- bukan saja sudah dikuasai dan diambil alih, tapi juga dibekukan diruang tertutup, dijadikan nilai tukar untuk membeli sepotong dua potong kue jatah Jokowi: kursi mentri. Itulah tontonan politik pasca pemilu.Â
Matilah kau, para cebong dan kampret!.Tapi biangmu masih aku kantongi. Akan kuternak bilamana perlu. Atau kau tunggu lima tahun lagi.
Para politisi telah merancang konstitusi yang memberikan hak-hak kepada diri mereka sendiri hampir-hampir setara Tuhan. Tidak ada demokrasi tanpa partai politik, dalihnya.
Ya. Partai politik, akulah raksasa itu!. Mau jadi presiden?, harus atas restuku!. Mau jadi parlemen?, juga harus atas restuku!. Mau jadi Panglima, Kapolri, BPK, KPK, Jaksa Agung, Hakim Agung, Hakim MK, Gubernur BI? Juga harus atas restuku melalui orang-orangku di parlemen.! Hmm..apalagi ya?. Tampaknya semua sudah termasuk. Tak ada yang tersisa. Merah birunya nasib bangsa ini sudah berada ditanganku! Bayangkan, betapa berkuasanya para ketua umum partai poltik.Â
Kenapa ketua umum?. Karena system kepartaian dengan model waralaba seperti sekarang ini, siapa saja anggota parlemen yang dianggap tidak segaris dengan ketua umum partainya, bersiap-siaplah dilempar ketempat sampah. Kalian memang punya hak bicara, tapi akulah yang memutuskan apa yang harus kalian bicarakan.
Tidak demikian halnya dengan presiden. Hak-hak istimewanya dilindungi oleh konstitusi, tidak terikat dengan anggaran dasar partai politik. Â Presiden bisa menggunakan hak-haknya tanpa dapat disentuh oleh tangan para ketua umum partai melalui system. Tapi tunggu dulu sobat.!
Hai, Jokowi, system is system. Ingatlah siapa yang tanda tangan saat pencalonanmu?. Emangnya ada yang bisa jadi presiden tanpa tanda tanganku?.Aku tahu engkau koki yang trampil sehingga masakanmu disukai rakyat. Â Janganlah kau memasak untuk selera mereka saja. Pertimbangkan juga seleraku. Lihatlah orang-orangku di parlemen. Kalau tak ingin jalanmu terseok-seok.
Bayangkan, betapa berkuasanya para ketua umum partai politik. Padahal jumlahnya diseluruh Indonesia hanya sembilan orang. Anehnya mereka selalu cakar-cakaran, tidak pernah rukun barang sejenak. Jika kemarin rebutan suara rakyat, sekarang rebutan jatah mentri.
Lebih aneh lagi, sudah diberi hak yang begitu besar oleh undang-undang, tapi kenapa raksasa yang bernama partai politik ini sampai sekarang belum mampu melahirkan seorang tokoh yang layak jual sebagai pemimpin bangsa?. Sehingga harus mengasong dulu untuk mendapatkan tokoh dari luar partai setiap menjelang pemilu? Seperti kemarin, berebut Jokowi atau membonceng Prabowo?
Boleh-boleh saja partai politik mengaku-ngaku, bahwa tokoh-tokoh kuat seperti Jokowi, Probowo, SBY, Mahfud MD merupakan kader-kader partai. Itu kan cuma omongan ayam. Semua orang juga tahu mereka ngetop dulu baru diakui sebagai kader, bukan sebaliknya.
Jokowi ngetop karena kiprahnya sebagai walikota Solo, bukan karena  gemblengan partai politik. Kehebatan Prabowo dan SBY karena lahir dari rahim Angkatan Darat. Prabowo dan SBY sudah akil baligh ketika Partai Gerinda dan Partai Demokrat baru lahir. Prabowo dan SBY itu ibunya Partai Gerinda dan Partai Demokrat, bukan sebaliknya.
Partai poltik ibarat raksasa mandul yang kurang hormon. Cobalah jangan bermain-main dengan barang kotor melulu, agar badanmu sehat. Bangunlah integritas agar rahimmu subur. Atau kau akan bunting anggur abadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H