Mohon tunggu...
Irul
Irul Mohon Tunggu... Guru - xxxxx

Pensiunan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Coba Tanya Jokowi, Megawati, Prabowo, dan Surya Paloh

5 Agustus 2019   01:22 Diperbarui: 5 Agustus 2019   01:42 1084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam teori, lembaga yang berperan sentral dalam sistem demokrasi adalah pemerintah dan parlemen. Apa yang terjadi di lembaga-lembaga itu dianggap sebagai perwujudan suara rakyat sesuai dengan mandat yang diberikan secara person to person kepada presiden dan para anggota parlemen dalam pemilu. Tapi, ada yang salah dalam anggapan ini.

Terutama  ketika belakangan ini kita menyaksikan manuver-manuver  para ketua umum partai.  Lihatlah mereka, setelah perhitungan suara usai, suara rakyat bukan cuma diambil alih, tapi juga dibekukan. Sudah tidak ada lagi penggalangan-penggalangan. Tak ada lagi adu kata-kata  setengah jujur atau curang.. Politik kemudian dikurung di satu tempat dikisaran lembaga-lembaga.

Persaingan kekuatan masih terus berlanjut dalam ruangan tertutup, tapi belum jelas persaingan antara  siapa dengan siapa

Secara konstitusi, kekuasaan berada ditangan presiden dan para anggota parlemen. Presiden yang melaksanakan dan para anggota parlemen yang mengawasi. Tapi juga ada yang salah dalam anggapan ini.

Ada penguasa tertinggi sebenarnya yang bersemayam dalam gelap, yaitu para ketua umum partai politik. Merekalah yang berhak menempatkan orang-orangnya -- sering dikatakan sebagai petugas partai - baik sebagai presiden maupun anggota parlemen. Tanpa tandatangan mereka, siapapun tidak bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau anggota parlemen.

Dengan sistem kepartaian model waralaba seperti sekarang ini, siapa saja anggota parlemen yang tidak mengikuti garis ketua umum partainya, siap-siap saja dilempar ketempat sampah.

Jika semua anggota parlemen berada dalam genggaman tangan ketua umum partainya, tidak demikian halnya dengan sang presiden. Tangan para ketua umum partai tidak bisa menyentuh presiden melalui sistem. Mereka tidak bisa lagi menarik tandatangan yang sudah terlanjur dibubuhkan saat pencalonan, karena rakyat sudah memberikan mandat. Dan presiden memiliki hak-hak istimewa yang dilindungi konstitusi.

Dengan kata lain, puncak piramida kekuasaan di republik ini hanya dipegang oleh sepuluh orang, yaitu presiden ditambah sembilan orang ketua umum partai politik pemenang pemilu.

Kalau mau dikerucutkan lagi, menurut pengamat politik M.Qodari, jumlahnya menjadi empat orang: Jokowi, Megawati, Prabowo dan Surya Paloh. M.Qodari menyebut mereka sebagai "Empat Menguak Takdir". Pemegang  mandat mayoritas suara rakyat yang akan menentukan merah birunya nasib bangsa Indonesia.

Kini, rakyat disuguhi totonan baru, yaitu pertemuan MRT, Teuku Umar dan Gondangdia. Diplomasi sate senayan, nasi goreng dan nasi kebuli. Sebuah drama persaingan politik yang memiliki kekuatan untuk menguatkan atau melumpuhkan institusi.

Ada ungkapan menarik dari film dokumenter"The Edge of Democrary" yang bercerita tentang krisis politik di Brazil. Seorang penulis Yunani mengatakan: Demokrasi hanya efektif ketika orang-orang kaya terancam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun