Sengaja saya pilih judul diatas bukanlah maksud saya untuk melakukan gerungisasi komedi ataupun vickynisasi filsafat. Bukan pula untuk mengkomparasi nilai diri antara intelektualitas filsuf yang fiksioner seorang Rocky Gerung dengan kontroversi hati seorang playboy syariah semacam Vicky Prasetyo. Saya paham betul kedua orang ini tidak mungkin di equalisasi.
Lantas, kenapa dua nama celeb ini saya sandingkan?. Ya, karena setiap menonton yang satu, Â saya selalu teringat yang lain. Keduanya sama-sama membuat saya nyengir ketika mendengar kata-kata bijaknya. Gerung membuat saya nyengir dengan mengernyitkan dahi, sedangkan Vicky membuat saya nyengir seraya menyunggingkan senyum.
Bidang Rocky Gerung adalah sastra dan filsafat. Kentara betul dia sedang mengeksplorasi dua bidang ini dalam setiap statemennya. Kepintarannya ialah bagaimana membuat filsafat yang rumit itu menjadi sederhana dan mudah dimengerti oleh orang banyak.
Rocky benar-benar memanfaatkan ambiguitas kebenaran untuk melihat "sisi lain" dari  "opini mainstream" setiap kejadian sosial yang sedang up to date. Oleh karenanya komen-komennya selalu mengejutkan, kontroversial dan seolah-olah benar. Dia goreng makna ganda dari segala sesuatu dengan bumbu sastra sehingga enak dinikmati.
Memang, tanpa bumbu sastra, opini-opini filsafati Rocky Gerung akan membosankan. Tampaknya dia sadar betul akan hal ini dan dia eksplorasi keahliannya di bidang sastra untuk mengatasinya. Gayanya yang theatrikal, pilihan diksi, intonasi, mimik, artikulasi, timbre sampai dengan gerak tubuhpun dia perhitungkan betul dalam setiap dia bicara. Inilah yang membuat para pendengarnya tersihir. Ada yang khas saya rasakan ketika  menonton Rocky Gerung: filsafati, puitis dan theatrikal.
Saya yakin banyak orang yang tidak setuju atau ingin membantah ide-ide Rocky Gerung. Tapi tampaknya mereka memilih bersikap bijak. Bisa anda bayangkan perdebatan tentang masalah sosial dalam kemasan filsafat, sastra atau theater, tentu bertele-tele tak ada endingnya, tak cukup ruang dan waktu.
Orang-orang lebih memilh nikmati saja Rocky Gerung sebagai bahan renungan dan introspeksi atau diambil lucunya. Panggung yang dibangun oleh Rocky Gerung tak memungkinkan orang lain untuk  ikut menari.
Lain lagi ceritanya kalau bicara tentang Vicky Prasetyo. Bila Rocky Gerung adalah intelektual yang gemar mengkritik kedunguan, Vicky Prasetyo justru dengan sadar selalu berusaha untuk mengintelektualisasi kedunguannya. Vicky tidak pernah mengkritik orang lain dungu, apalagi menganggap diri pintar.
Rupanya dia sadar betul dengan modalnya yang cuma lulusan SMA jurusan IPS. Tentu saja saya tidak ingin membanding-bandingkan kecerdasan kedua tokoh ini. Tapi, saya pernah dengar, katanya, bahwa orang pandai itu adalah orang yang menyadari dirinya bodoh.
Tidak seperti Rocky Gerung yang suka bicara masalah sosial dan kritik kepada pemerintah, Vicky Prasetyo lebih nyaman bicara tentang dirinya sendiri, terutama tentang cinta-cintanya. Pernikahan yang bagi Gerung baik sebagai fiksi, buruk sebagai fakta tapi bagi Vicky merupakan Tanjung Prioknya hati.
Vicky tidak pernah menggubris urusan orang lain, apalagi mengkritik pemerintah. Dia lebih suka memvisualisasikan cintanya kepada Angel Elga ketika sinkronisasi jiwanya sedang mendominasi diri. Bagi saya Vicky Prasetyo merupakan satire terhadap Rocky Gerung. Dan keduanya sama-sama menghibur.