Mohon tunggu...
Hazmi SRONDOL
Hazmi SRONDOL Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis/Jurnalis

Jika kau bukan anak Raja, bukan anak Ulama. Menulislah...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kopi Amungme Papua, Kopi "Termahal" di Dunia Binaan PT Freeport Indonesia

2 Oktober 2015   11:13 Diperbarui: 2 Oktober 2015   13:21 5243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 “Mencium aroma kopi, rasanya sudah berada di zona penyangga (buffer zone) surga..”

Kurang lebih itulah yang sering kali terucap oleh om Syam, sahabat bloggerku yang juga berprofesi sebagai petani di daerah Cijapun, Sukabumi.

Dulu, saya sering tertawa saja mendengar kalimat ini. Namun sekarang, apa yang dikatakannya terasa sangat benar. Apalagi jika dikaitkan dengan arti harfiah surga dalam sudut pandang agama Islam yaitu : jannah.

Jannah sendiri juga secara bahasa Arab berarti “kebun”. Kebun yang dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) berarti sebidang tanah yg ditanami pohon musiman. Tanaman itu boleh saja karet, jagung atau kopi itu sendiri.

Menariknya lagi, tak lama sebelum tanggal 1 Oktober 2015 ini dinyatakan sebagai Hari Kopi sedunia yang dinyatakan oleh Internasional Coffee Organization di Milan, Italia—pada pameran Specialty Coffee Association of America (SCAA) 9-12 April 2015 di Seattle Amerika Serikat (AS), Indonesia mendapatkan predikat baru, yakni "Surga Kopi Dunia".

Hal yang tentu bukan suatu kebetulan. Ada keterikatan semesta yang kuat dan diluar jangkauan akal manusia atas segala hubungan kopi dan surga ini, khususnya di Indonesia.

Julukan sebagai surga kopi dunia ini juga bukan atas dasar mengada-ada atau asal-asalan. Keberagaman varian kopi yang ada di Indonesia menjadi salah satu alasan yang kuat. Sebuah hadiah dari alam Indonesia yang berada di belahan Khatulistiwa. Dimana dalam sabuk geografis ini, iklim dan alamnya sangat potensial untuk tumbuh dan berkembangnya aneka tumbuhan dengan subur, tak terkecuali kopi sendiri.

Dalam sebuah catatan perdagangan kopi, Indonesia pernah berada di posisi ketiga eksportir kopi terbesar di dunia. Berada dibawah Brazil dan Vietnam. Namun sekarang, posisinya melorot di posisi ke empat karene disusul oleh Kolombia.

Padahal, ekspor kopi sangat strategis bagi perekonomian sebuah bangsa. Coba cek negara bernama Kosta Rika. Sebuah negara bekas koloni Spanyol ini, pendapatan terbesar negaranya dari ekspor kopi-nya. Padahal, Kosta Rika tidak masuk 10 besar negara pengekspor kopi terbesar di dunia. Negara ini, hanya termasuk daerah penghasil kopi dunia yang masuk dalam area yang disebut “The Coffee Bean-Growing Belt” saja.

Dalam sabuk kopi dunia ini, boleh dikatakan seluruh wilayah Indonesia masuk didalamnya. Semua pulau-pulau dalam wilayah Nusantara sangat potensial untuk area pengembangan kebun kopi.

Dari kopi Aceh, Kopi Jambi, Kopi Lampung, Kopi Jawa, Kopi Malinau-Kalimantan, Kopi Toraja–Sulawesi dan kini muncul varian baru kopi dari daratan Papua. Kopi itu bernama kopi Amungme. Kopi yang di tanam di pegunungan Nawangkawi yang berada di ketinggian 3000 meter dpl.

Kebetulan sekali, saya termasuk yang beruntung untuk bisa mengunjungi langsung sentra produksi dan pengolahan kopi ini. Pada awal Mei 2015, di tempat yang dinamakan Highland Agriculture Development - Unit Coffee Processing , saya berkesempatan bertemu dengan pak Hery Aibekob.

Pace Papua yang satu ini sangat dikenal oleh warga suku Amungme, khususnya warga Desa Metember, Opitawak, Aroanop dan sekitarnya yang menjadi pusat pengembangan usaha perkebunan kopi Amungme di daerah ini.

Tidak mengherankan, memang semenjak awal tahun 2012—Hery telah memulai mendatangi dan mensosialisasi kan program Petani Mandiri, khususnya pada tanaman kopi yang berkerjasama dengan salah satu departemen di PT Freeport Indonesia.

Hal ini ternyata merupakan pengembangan dari inisatif warga yang pada tahun 2009 mulai menanam kopi dengan bibit mengambil dari lahan petani yang sudah ada di Emtawarki-Tsinga.

Dari inisiatif inilah, akhirnya pak Hery dan perusahaan tempatnya berkerja melakukan usaha dan program pendampingan untuk petani mandiri ini. Sedikitnya tiap desa terdapat 35 petani mandiri dengan luas lahan 10 hektar/petani yang ditanami pohon kopi. Hasil panen petani inilah yang akhirnya diproses dan didistribusikan oleh tim pak Hery.

Dari kisahnya tersebut, dengan sedikit bencanda saya mengatakan bahwa kopi Amungme adalah kopi “termahal” di dunia. Bukan termahal pada harga produk jadi kopi “Amungme Gold” yang perbungkusnya seberat 250 gram tersebut. Harganya sih masih kalah dengan kopi Luwak asli. Tetapi termahal dibiaya menjemput kopinya.

Disaat daerah lain di Indonesia atau belahan dunia yang lain, panen kopi diantar dengan truk, mobil, gerobak atau motor—maka hanya kopi Amungme-lah yang transport antar jemput panen kopinya menggunakan helikopter. Hahaha…

Usai mendapatkan informasi asal muasal biji kopinya, saya diajak untuk melihat bagaimana proses roasting dan pengepakannya. Dalam ruangan kerja pak Hery, saya melihat sudah terdapat beberapa mesin roaster semi otomatis. Agak terkejut, selain mesin roaster buatan luar negeri, disana ternyata terdapat mesin roaster lokal buatan Bandung. Ya, Bandung!

Itu pun mempunyai hasil olahan dengan kualitas yang sama. Hanya saja, memang harga mesin roaster lokal jauh lebih murah. Wah wah wah…!

Setelah puas dengan melihat tempat memasak kopi ini, akhirnya sampilah pada waktu yang saya tunggu-tunggu. Yaitu: coffee tasting atau dalam bahasa kita adalah “icip-icip kopi”.

Tidak menyesal kiranya, beberapa saat sebelumnya pernah mengikuti pelatihan coffee tasting dari Doddy Samura--salah satu barista Indonesia yang sudah berkelas dunia. Jadi saya tidak terlalu malu ketika diberi jebakan ujian coffee tasting dari pak Hery. Beliau menyediakan gula dalam pengetesannya. Alhamdulillah, saya sukses menyingkirkan gula dan diakui keabsahannya sebagai sesama pecinta berat kopi sejati. Hahaha…

Nah, sayangnya—saat melihat proses pengepakannya, mendadak saya menjadi sedih. Ternyata ruang pengepakannya kecil dan lebih mirip laboratorium. Tidak seperti pabrik-pabrik kopi yang sering saya lihat di televisi.

Kalau sekedar besar, saya yakin perusahaan tempat pace Hery berkerja mampu membuatnya. Saya paham, kecilnya ruangan ini sebanding dengan produksi biji kopi Amungme yang disetor oleh para petani mandiri.

Hal ini pulalah yang akhirnya membuat pertanyaan kenapa Starbuck—gerai kopi terbesar di dunia batal mengeluarkan menu kopi Amungme di list produknya? Bukan karena kualitas. Tetapi lebih dkarenakan produksi yang tidak sebanding dengan permintaan.

Video Reportase: https://www.youtube.com/watch?v=V6xGo3dr9-8

[Hazmi Srondol]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun