“Pernah mendengar pendekatan “laissez-faire” untuk manajemen ekonomi?” tanya Prabowo.
“Pernah, pak. Itu kan bahasa diksi Perancis yang berarti ‘biarkan terjadi’. Sejenis perlawanan terhadap interversi pemerintah dalam perekonomian dan perdagangan. Sinonim dari pasar bebas kan, pak?” kataku menjawab sekaligus meminta koreksi.
“Betul. Paham itu tidak boleh diadopsi mentah-mentah oleh oleh pemerintah Indonesia. Apalagi diadopsi secara membabi buta. Tidak boleh!” kata Prabowo tegas dan mulai garang.
“Loh, memangnya kenapa, pak? Kan seluruh dunia sudah begitu? Khususnya Barat dan Amerika”
“Mengadopsi pendekatan laissez-faire adalah formula untuk penderitaan, sekaligus resep untuk ketidakstabilan dan kerusuhan! Kita punya konsep ekonomi sendiri. Coba cek Pasal 33 UUD 1945” jelasnya dengan geram.
Ya, kadang beruntung juga dulu sering iseng pergi ke Kwitang untuk membeli buku-buku bekas. Salah satu buku ekonomi yang menjadi bahan bacaan dikala senggang adalah buku-buku pelajaran keluaran Universitas Terbuka. Walau saat itu bukan kuliah di bidang ekonomi, namun dasar teori ekonomi mikro dan makronya perlu kubaca untuk mengimbangi diskusi di kantin dengan teman-teman yang lulusan kampus ekonomi.
Dan sekarang, waktu yang disisihkan menjadi sangat bermanfaat untuk berdiskusi dengan sosok sebesar Prabowo Subianto ini. Kan malu juga kalau pah-poh atau clingak-clinguk melongo saat beliau berbicara hal yang sangat mendasar dalam pola pemikirannya.
Lalu aku coba mengingat kembali Pasal 33 UUD 1945 yang dahulu sebelum di amandeman aku sangat hapal isinya karena sering ditugaskan ikut lomba cerdas cermat P4 sewaktu SD. Dan tinggal ditambah ayat tambahan amandemennya.
“Nah, jelas bahwa pasar bebas dengan paham laissez-faire bertentangan dengan pasal 33 tersebut. Harusnya pemerintah harus turun tangan dan berperan yang kuat dalam sektor-sektor tertentu dari ekonomi bangsa. Pemerintah tidak boleh ragu untuk meminpin”
“Oh, maksudnya sesuai ayat : Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara dan Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ya, pak?” kataku bertanya untuk mempertegas.
“Betul. Pemerintah tidak boleh hanya jadi wasit. Apalagi wasitnya gampang disogok dan pemainnya curang-curang”
Aku pun tertawa ngakak saja mendengar sentilan tersebut.
“Jadi benar kata orang kalau pemerintah sekarang konsepnya neolib ya, pak?” tanyaku lagi.
“Ya, walau mereka tidak mengakui—tapi fakta lapangannya memang sekarang menuju ke pasar bebas”
Menyedihkan memang. Apalagi saat iseng-iseng pernah membuka berita tahun 2010 dari pemerintah melalui menteri perdagangan dan ketua BKPM (Badan Koordinasi Pasar Modal) -nya yang malah mendukung masuknya modal asing dalam sektor-sektor penting. Bahkan menolak pembatasan kepemilikan asing dalam asset nasional.
Merinding bacanya. Kalau didiamkan, jangan-jangan nanti semua perusahaan di Indonesia milik asing. Lha wong di bidang telekomunikasi sudah semuanya milik asing. Tinggal Kantor Possaja yang belum.
Apalagi jika dihubungkan dengan statement Bung Karno yang menyatakan bahwa pilar pembangunan bangsa adalah edukasi dan konektifiti. Maka, satu pilar bangsa tersebut sudah ambruk. Pilar konektifiti alias pehubungan dan telekomunikasi.
“Jadi stateginya bagaimana untuk menghadapi ini semua ini, pak?”
“Begini. Sebelumnya mesti tahu empat tantangan besar yang bangsa Indonesia. Kemudian tantangan itu kita hadapi dengan strategi dorongan besar. Sebuah strategi yang memanfaatkan keuntungan kompetitif Indonesia untuk menyelesaikan masalah besar secara bersamaan atau pararel. Contohnya geografi dan tentu saja ini berarti—berbasis pertanian!” Jelas Prabowo.
[caption id="attachment_313292" align="aligncenter" width="576" caption="Ledakan Penduduk"][/caption]
Saya pun menjadi terdiam. Khusyuk mendengarkan beberapa penjelasan dari Prabowo. Untuk 4 tantangan besar bangsa Indonesia adalah :
1.Tantangan “Menipisnya Sumber Daya Energi”
Dengan konsumsi 500 juta barrel/tahun, dengan cadangan minyak 4,3 Milyar barrel. Ini berarti dalam waktu 12 tahun kedepan, jika tidak ada penemuan baru--cadangan minyak kita habis. Indonesia akan menjadi negara pengimpor penuh kebutuhan energinya.
2.Tantangan “Ledakan Populasi Indonesia”
Dengan jumlah penduduk sekarang mencapai 250 juta, maka dalam 20 tahun kedepan, Indonesia akan memiliki 100 juta penduduk baru. Jumlah mulut baru yang harus diberi makan, pendidikan, kesehatan, rumah sakit dan pekerjaan.
Sedangkan jika memakai konsep ekonomi sekarang (2013) , supply makanan tidak akan mencukupi. Bahkan harus impor.
3.Tantangan “Pemerintah yang Lemah, Tidak Efisien dan Korup”
Tantangan ini memang sulit dihitung, tetapi sangat nyata dan faktual. Sebuah pemerintahan yang lemah, tidak efisien dan korup. Mirip lingkarang setan.
Belum sistem otomom tingkat kota/kabupaten yang untuk Indonesia dengan penduduk 250 juta jiwa, terdapat 497 badan pemerintah otonom. Bandingkan China dan India dengan penduduk lebih dari 1 milyar, hanya memiliki 33 pemerintah daerah otonom.
Dan cara termudah mengecek kualitas pemerintahan setingkat kabupaten adalah melihat kondisi jalannya. Jika kondisi jalan nya buruk. Silahkan diselidiki untuk tindak pidana korupsi
4.Tantangan “Ketidak seimbangan Struktur Perekonomian”
Jika kita bedah sirkulasi uang di Indonesia, ternyata 60% berada di Jakarta. 30% pada kota besar lainnya dan baru 10% sisanya untuk pedesaan.
Padahal, 60% penduduk Indonesia berada di pedesaan. Lebih menyesakkannya lagi, anggaran pemerintah untuk pedesaan hanya 3% dari APBN. Tidak adil!
“Terus, penjelasan strategi dorongan besarnya seperti apa, pak?”
Prabowo sejenakmengatur nafas, lalu kembali menjelasakan secara berurut. “Strategi Dorongan Besar” ini dimulai dari:
1. Mengamankan Pasokan Pangan Indonesia dan Mandiri dalam Energi
Pertama dan terpenting, Indonesia harus memanfaatkan keuntungan kompetitif geografis tropis. Indonesia harus kembali menjadi negeri agro industri. Dimana di dunia ini, hanya 27% wilayahnya adalah tropis dan 11% diantaranya ada di Indonesia.
Artinya, sekitar 40% lahan tropis dunia ada di Indonesia. Di Indonesia, setiap tumbuhan pangan bisa panen tiga kali setahun, lebih banyak daripada daerah subtropis empat musim yang hanya bisa panen sekali setahun.
Targetnya, dari 77 juta hutan rusak, bencana ekologi ini digubah menjadi peluang ekonomi dengan mecetak 10 sampai dengan 16 juta hektar lahan produktif untuk pangan mau pun energi.
Untuk pangan, jika ada masing-masing tiga juta hektar lahan beras dan jangung maka Indonesia akan menhasilkan 18 juta ton beras dan 15 juta ton jagung. Hal yang memungkinkan Indonesia bisa surplus pasokan makanan dasar.
Untuk 10 juta hektar lainnya, jika dipakai untuk menanam singkong dan hasilnya dijadikan bioethanol maka setiap tahun bisa menghasilkan 629 juta barel. Bisa menggantikan kebutuhan minyak bumi yang mencapai 500 juta barel/tahunnya.
Dengan 16 juta hektar lahan tersebut, akan menyerap tenaga kerja sekitar 40 juta orang. Baik untuk sisi pertanian mau pun industri pengolahan (pabrik) bioethanolnya.
Mengagetkannya, untuk membangun agro industri sebesar itu—modalnya tidak lebih besar dari subsidi minyak bumi yang mencapai 80 trilyun rupiah setiap tahunnya. Paling banyak, hanya membutuhkan setengah dari subsidi untuk konsumsi minyak bumi.
Disamping membangun agro industri bioethanol dari singkong atau pohon aren. Potensi pembuatan pasokan energi alternatif untuk listrik juga harus segera dibuat. Dari tenaga surya yang bersinar sepanjang tahun di Indonesia, hingga energi tenaga angin yang potensinya besar karena panjangnya garis pantai di Indonesia.
[caption id="attachment_313294" align="aligncenter" width="446" caption="(sumber gambar: http://sure-indonesia.com/solusi-pltb.html)"]
Juga penggolahan gas alam, batu bara, sumber daya panas bumi, hydropower dan terakhir—suka tidak suka dalam 30 sampai 50 tahun kedepan, Indonesia harus mengembangkan tenaga nuklir.
Pengembangan yang tentu harus dipelajari keamanannya, khususnya geografis lingkar gunung api yang mudah terjadi gempa. Kemungkinan terbesar dan paling potensial keamananan geografis untuk pembangkit tenaga nuklir adalah Kalimantan.
2. Menciptakan Lapangan Kerja, Mengurangi Kemiskinan Secara Drastis serta Investasi Pendidikan dan KesehatanRakyat
Strategi ekonomi berbasis Agro Industri, sedikitnya akan menyerap 40 juta tenaga kerja untuk 16 juta hektar lahan. Tentu akan semakin besar jika dari 61 juta hektar sisa dari 77 juta hektar lahan rusak di Indonesia juga dibangun dan dikembangankan untuk agro industri.
Belum lagi, untuk mendukung agro industri, perlu dibangun waduk, irigasi, desa-desa, unit pengolahan, kilang minyak/bioethanol, infrastruktur jalan, kereta api, bandara dan lain sebagainya yang juga akan menyerap banyak tenaga kerja.
Disamping memperbaiki ekologi alam, juga akan menjadi solusi dari pemasalahan pengangguran. Berkurangnya pengangguran juga berarti meningkatnya daya beli dan bergeraknya pertumbuhan bisnis sektor riil (perdagangan rakyat) di Indonesia.
Untuk mengatasi ledakan penduduk, pemerintah harus mengalokasikan dana untuk sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan nasional. Hal ini penting karena dengan pendidikan dan kesahatan yang baik, menurut penelitian—tingkat kelahiran akan turun dan terkontrol. Memang untuk yang satu ini, perlu kampanye basar dan berkelanjutan.
3. Kehendak Politik dan Kepemimpinan yang kuat.
Dan dilain pihak, pemerintah juga harus efisien dalam sistem penerimaan pajak dan pendapatan nasional. Efesiensi juga harus dilakukan kepada aparatur negara agar bisa menghasilkan aparat birokrat yang bersih, terpilihdan berpenghasilan yang lebih mencukupi agar tidak korupsi lagi.
Disamping efisien, manajemen pemerintah juga harus kreatif, efektif dan imajinatif dalam menggunakan teknologi informasi atau internet. Pemerintah juga harus trasnparan dan akuntabel dalam tata kelola keuangannya. Dan teknologi IT sekarang sangat mendukung untuk ini.
4. Reorientasi Ekonomi
Mengatasi ketidakseimbangan struktur ekonomi, tidak boleh dibutakan atau terikat oleh sebuah teori atau ideologi tertentu. Sejarah mengajarkan bahwa tidak ada satu model solusi yang dapat sukses pada setiap kasus. Indonesia harus menenukan dan menerapkan model ekonominya sendiri. Sebuah model yang berdasarkan sejarah, budaya dan keadaan sendiri.
“Yang mirip dengan Pasal 33 UUD 1945 itu dong, pak” kataku berbinar mendapatkan penjelasan itu.
“Benar, itu yang kita sebut Ekonomi Kerakyatan.” Tandas Prabowo lugas.
Lalu ketika aku hendak bertanya teknis pelaksanaan yang lebih detail lagi, Prabowo pun menyerahkan sebuah buku berjudul “Membangun Kembali Indonesia Raya” karyanya.
“Pelajari dulu. Nanti kita diskusi lagi. Hari sudah malam, pasti keluarga sudah menunggu di rumah” katanya sambil tersenyum.
Aku pun menerima buku itu dengan girang. Sempat kumenanyakan kembali soal efeknya jika tidak nurut dengan ideologi Barat dan Amerika, malah memakai sistem ekonomi sendiri. Ekonomi kerakyatan. Padahal sepertinya sudah jadi pameo di dunia, jika tidak nurut gaya dan kemauan Barat dan Amerika--konon jangan berharap dapat restu menjadi Presiden di Indonesia.
"Rakyat Indonesia tidak bodoh. Kita bahas lagi nanti, bung!" katanya tertawa sambil tertawa.
Aku pun ikutan tertawa. Walau tertawa miris deg-degan dengan keberaniannya yang cenderung nekad mempertahankan konsep ekonomi kerakyatan ini.
***
Tulisan sebelumnya : Prabowo Subianto, Tukang “Tambal Ban” Kebocoran Kekayaan Negara
***
Follow : @hazmiSRONDOL
[Bekasi, 3 Desember 2013]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H