Mohon tunggu...
Hazmi SRONDOL
Hazmi SRONDOL Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis/Jurnalis

Jika kau bukan anak Raja, bukan anak Ulama. Menulislah...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Prabowo Siap Bangun Tol Sumatera, Jokowi Nanti Dulu...

22 Maret 2014   09:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:38 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Naik pesawat aja, pak. Kasihan lihat bapak capek menyetir”

Itulah kalimat yang rutin dikatakan istriku saat menjelang musim lebaran tiba. Tak hanya sekali, boleh jadi—tahun ini akan menjadi kalimat ke 10 yang akan diucapkannya.

Namun, saya yakin tahun ini hasilnya akan sama saja. Kami akan naik kendaraan pribadi menuju kampung halamannya di Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi. Kota yang berjarak sekitar 1116 Km dari tempat tinggalku di Bekasi jika dihitung memakai odometer di mobil.

Jangan heran jika saya begitu detail hapal angka Km ini, maklum angka ini aku simpan sejak pertama kali mudik dan ditempel di dashboard sebagai tolak ukur kira-kira tinggal berapa Km lagi kendaraan kami mesti mengukur jarak ini. Kalau baru sampai pelabuhan Merak, catatan ini tidak pernah kulirik. Perjalanan masih teramat jauh.

Dalam catatanku, rekor tercepat Bekasi – Bangko adalah 26 jam termasuk dengan waktu naik kapal ferri. Selebihnya banyakan lebih dari 40 jam mengingat antrian pelabuhan Merak yang semakin lama semakin menggila, pernah sampai enam jam mengantri saat terjebak waktu puncak mudik arah Sumatera. Hingga akhirnya, terkahir kami mudik—kami memilih menginap di pertengahan jalan agar anak-anak tidak terbawa kelelahan.

Ya, merepotkan memang. Tapi apalag daya, tiket pesawat yang selalu kami impikan harganya masih selangit. Saat mudik Lebaran, harga meningkat dua kali lipat. Dari tara-rata 800 ribu rupiah berubah menjadi sekitar 1,5 juta per orang. Lha sedangkan rombongan kami minimal 4 orang. Setidaknya butuh 6 juta sekali berangkat. Itu pun mesti mendarat di Bandara Jambi. Mesti ditambah perjalanan darat 4 jam ke Bangko. Itu pun kalau lancar. Hiks.

Dan dibandingkan naik kendaraan sendiri, kami rata-rata hanya membutuhkan dana 1 sd 1,5 juta untuk BBM, tol, makan dan penginapan.Lumayan, dana bisa dipakai untuk hal yang lain.

“Tapi, pak. Sampai kapan kita begini? Anak semakin besar dan bapak semakin senior” kata istriku. Pertanyaan yang ada satu kata yang ku edit. Malas rasanya ada sebutan ‘tua’ di tulisan ini. Eh. Hehehe…

“Tenaaaaang, bu. Sumatera bakal punya jalan Tol” kataku sambil tersenyum.

“Serius? Bukannya batal?” tanyanya penasaran.

Sebenarnya bukan batal. Lebih tepatnya tertunda. Hal yang membuatku paham kenapa pak Alex Noerdin—Gubernur Sumatera Selatan begitu geramnya. Bayangkan, salah satu segment Tol trans Sumatera yang sudah ada MoU nya ternyata tidak masuk anggarannya pada APBN tahun 2014 ini.

Padahal sebelumnya sudah terdengar ada anggaran sekitar 5 trilyun rupiah untuk segment Palembang ini. Pemerintah sekarang seperti tidak bergairah dan bersemangat dengan rencana ini. Ada apa? Kenapa? Dan beragam pertanyaan hilir mudik muncul penuh rasa penasaran.

Namun, rasa penasaran terjungkalkan saat Prabowo Subianto dengan tegas menyatakan bahwa Tol Trans Sumatera adalah program “one way ticket” alias program ‘harus’, ‘kudu’ jadi atau apapun namanya.

[caption id="attachment_327797" align="aligncenter" width="597" caption="Prabowo siap bangun Tol Sumatera"][/caption]

Tidak main-main, program ini di umumkannya secara terbuka saat peluncuran 6 Program Aksi Transformasi Partai Gerindra di Hotel SahidJl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (15/7/2013). Tertulis disana dengan jelas pada point 5.a “Membangun prasarana di seluruh wilayah Indonesia: jalan dan jembatan termasuk 3.000 km jalan raya nasional baru modern dan 3.000 k rel kereta api, pelabuhan laut (samudra dan nusantara) dan pelabuhan udara, listrik dan telekomunikasi”.

“Jangan pernah meremehkan Sumatera, bung. Pertumbuhan ekonomi di Sumatera sangat cepat, bahkan diluar prediksi ekonom dan ahli tata kota. Kita harus menyesuaikan kelas jalannnya. Jalan Tol Sumatera sudah menjadi kebutuhan mendesak!” jelas Prabowo dikediamannya.

Kemudian Prabowo pun menyatakan jika salah satu agenda nasional yang akan dilakukannya setelah menutup kebocoran anggaran negara 1000 trilyun adalah membangun jalan tol ini. Pemerintah berperan penting sebagai yang mempunyai ‘kehendak’ atau “will’ dalam pembuatan jalan tol sepanjang 2700 km.

Walau pun sempat Prabowo keheranan dengan melonjaknya anggaran Tol Trans Sumatera yang di tahun 2012 terhitung 150 trilyun rupiah menjadi 300 trilyun rupiah di tahun 2013, Prabowo tetap konsisten dengan ucapan sebelumnya yaitu: “One Way Ticket!”.

Soal pelaksanaan proyek tol ini, kufikir Prabowo akan menggandeng kontraktor asing dalam pelaksanaannya. Tapi nyatanya, Prabowo malah tertawa dan mengatakan aku terlalu meremehkan kemampuan bangsa sendiri. Sempat beliau menceritakan ulang soal sejarah jalan tol Indonesia dan Jerman.

Di Indonesia, tersebut nama Ir. Tjokorda Raka Sukawati. Seorang insinyur asli Indonesia kelahiran Bali yang menemukan sistem konstruksi hidrolik Sosrobahu dan angka ajaib hitungan 78.05 Kg/cm2. Sebuah angka koefisien yang dalam pengakuan pak Tjokorda adalah angka ‘wangsit’ karena didapatkannya setelah bersembahyang di Pura--tempat ibadah agama yang dianutnya, Hindu. Dan angka ini, jadi patokan insinyur sipil di seluruh dunia. Tidak terkecuali Amerika.

Untuk yang di Jerman, Prabowo bercerita tentang Autobahn di Jerman. Memang harus diakui, walaupun dalam sejarah—Hitler mendapatkan porsi dalam catatan bagian hitam, namun soal jalan tol ia sangat jempolan. Sejak tahun 1936, rata-rata Jerman mampu membangun 1000 km/tahun. Walau saat perang dunia II, jalan tol ini sempat rusak, namun usai perang—kini Jerman sudah memiliki ruas tol Autobahn sepanjang 12 ribu Km. Sedaaaap!

Nah, Hitler yang dizaman perang, dengan teknologi era 30 an mampu membangun sepanjang itu, semestinya di era sekarang Indonesia bisa lebih cepat dan panjang menggarapnya. Teknologi sudah maju dan bahan baku cor betonnya melimpah. Namun, jangan dibandingkan Bandung Bondowoso, dong! Hanya dia bisa membangun dalam waktu semalam saja. Hehehe…

Nah, tak heran—adalah jalan tol Jerman inilah yang akhirnya menjadikan Jerman sempat dengan cepat masuk ke negara lain. Hal ini disebabkan karena memang konsep ‘blitzkrieg’ alias serangan kilat ini berbasis pergerakan tank Tigr yang bergerak lewat jalan ini.

Sedangkan Indonesia, dipastikan—pemerataan ekonomi di Sumatera akan juga sangat cepat. Bahkan melihat potensi SDA nya, tidak mungkin Jawa akan disalip. Jadi nama “swarnadwipa” yang dahulu tersebut untk Sumatera akan kembali hadir. Ya, sumatera adalah Pulau Emas yang bekilauan. Jadi tak heran kan kenapa istriku orang Sumatera? Ya siapa tahu kecipratan, eh! Hehehe…

Wah, sudah sampai tulisan disini—sempat terlupa tentang sosok Jokowi. Jokowi yang maju nyapres lewat mandat ketua partai PDI-P, sampai tulisan ini dibuat belum ada konsep mengenai jalan tol Sumatera ini. Terakhir di Rumah Pitung, Marunda, Jakarta Utara, Jumat (14/3/2014), Jokowi menyatakan: "Kok pici mici Wong kita ini baru mau kaji Pileg.”.

Statement yang sempat membuatku mendadak teringat Julius Caesar dengan “veni vidi vici” yang berarti “saya datang, saya lihat, saya menang”. Namun bedanya, “pici mici” Jokowi berarti “burung pelatuk Angri Bird (terrace)” dalam bahasa latin yang sama.

Namun, saya yakin Jokowi hanya bercanda, PDI-P yang dipimpin Megawati bukan partai kemarin sore, PDI-P partai lama dan kawakan. Pasti banyak expert dan ahli didalamnya. Saya yakin dalam waktu dekat akan segera keluar konsepnya. Iya kan?

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun