Perencanaan membangun kota bukan hanya sekadar menempatkan lampu-lampu terang, relokasi penyedia barang dan jasa, atau terwujudanya infrastruktur mewah yang instagramable. Lebih dari itu, merencanakan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas merupakan priorotas bagi setiap warga termasuk yang berkebutuhan khusus. Menempatkan pengaruh kebijakan pemerintah bagi penyandang disabilitas adalah penghormatan kepada martabat, otonomi individu tanpa diskriminasi. Bukan hanya itu, perlakuan khusus dan perlindungan lebih diharapkan mampu saling beriringan. Lingkungan kota seperti ini adalah cita-cita disetiap daerah di Indonesia.
Kota yang ramah bagi penyandang disabilitas bukan hanya menciptakan standar aksesibilitas fisik, tetapi juga mengedepankan ruang-ruang partisipasi sosial. Dengan merencanakan semua hal yang berkaitan dengan penyandang disabilitas, maka cita-cita masa depan kota yang inklusi bukan lagi sebuah angan-angan. Melalui perencanaan kota yang berfokus pada aksesibilitas, transportasi yang ramah disabilitas, serta penyediaan fasilitas umum yang mendukung, kota dapat memperluas partisipasi masyarakat yang beragam. Maka dari itu, perencanaan kota perlu menyadari prinsip-prinsip berkeadilan bagi seluruh warganya terutama demi mewujudakan kota ramah penyandang disabilitas.
Kota-kota besar seperti kota Bandung, kota Yogyakarta, dan kota Solo adalah wilayah kota dari sekian banyak kota di Indonesia yang memiliki standar sebagai kota ramah bagi penyandang disabilitas. Upaya-upaya penyediaan fasilitas publik yang ramah bagi disabilitas bisa dilihat langsung dari perencanaan trotoar bagi pejalan kaki. Jalur pemandu (Guiding Block) adalah ciri pertama yang terpasang disepanjang trotoar jalan kota sebagai layanan fasilitas bagi disabilitas penyandang tunanetra. Selain itu, jalur parkir dan jalur landai khusus disabilitas disetiap kota tersebut menjadi pemandangan yang umum yang dapat ditemukan.
Jalur pemandu merupakan sistem jalan berbasis insfrastruktur yang dirancang untuk memandu penyandang tunanetra dalam bergerak di lingkungan umum dengan lebih mandiri dan aman. Jalur pemandu yang dirancang dengan baik memastikan akses fisik yang lebih baik bagi penyandang tunanetra ke berbagai layanan publik, seperti transportasi, fasilitas Kesehatan, pendidikan, dan tempat umum lainnya. Peraturan mengenai jalur pemandu tertuang dalam peraturan Menteri pekerjaan umum no. 30 tahun 2006, yakni tentang pedoman teknis fasilitas dan aksesibilitas pada bangunan Gedung dan lingkungan. Di dalam peratuaran itu juga tertuang prasyarat teknis fasilitas sebanyak 16 poin yamg memenuhi standar aksesibilitas yang harus diwujudkan.
Kota-kota besar di Pulau jawa sudah menunjukkan adanya kemajuan dalam perencanaan pembangunan kota yang layak dan ramah bagi disabilitas. Hal itu dapat menjadi contoh bagi kota-kota besar di Indonesia terutama pulau-pulau yang jauh dari pusat pemerintahan. Seperti Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
Provinsi Gorontalo merupakan provinsi ke-32 di Indonesia yang terkenal sebagai provinsi dengan produksi jagung tertinggi di Sulawesi. Provinsi ini resmi terbentuk pada 16 Februari 2001 melalui Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000. Sebagai provinsi yang tergolong muda, upaya kemajuan yang dapat dilakukan adalah menciptakan lingkungan kota yang inklusif serta menghargai hak setiap warga tanpa terkecuali.
Dalam mewujudkan kota yang ramah bagi penyandang disabilitas, Pemerintah Kota Gorontalo dapat mengambil langkah-langkah strategis yang telah diterapkan di kota-kota lain di Indonesia. Salah satunya adalah dengan membangun infrastruktur yang memperhatikan prinsip aksesibilitas, seperti penyediaan trotoar dengan jalur pemandu bagi tunanetra, jalur landai di area publik, serta fasilitas transportasi yang mudah diakses oleh penyandang disabilitas. Namun demikian, masih ada tantangan dalam upaya mewujudkan Kota Gorontalo yang ramah bagi penyandang disabilitas. Misalnya, kondisi Taman Kota dan area sekitar Jalan Nani Wartabone tidak memiliki jalur pemandu dan jalur landai bagi penyandang disabilitas. Hal ini menimbulkan tantangan yang signifikan, terutama bagi mereka yang tuna netra atau pengguna kursi roda, karena mereka kesulitan mengakses ruang publik dengan aman dan nyaman. Untuk mengatasi hal ini, Pemerintah Kota Gorontalo harus memprioritaskan aksesibilitas dalam pembangunan dan renovasi fasilitas umum. Menetapkan standar kota inklusif dapat dimulai dengan penyediaan trotoar yang mudah diakses, pemasangan jalur pemandu pada jalur pejalan kaki, dan pembangunan jalur landai khusus disabilitas di lokasi-lokasi penting yang strategis dan sering dikunjungi masyarakat.
Selain infrastruktur, perhatian juga harus diberikan pada aspek sosial dan pembuatan kebijakan. Kota yang inklusif harus menyediakan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, pekerjaan, dan kegiatan sosial budaya. Menciptakan lapangan kerja yang mudah diakses, memberikan pelatihan keterampilan, dan menerapkan kebijakan yang mendukung adalah langkah konkret yang dapat diambil.
Gorontalo memiliki potensi yang signifikan untuk menjadi kota yang ramah bagi penyandang disabilitas. Dengan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat setempat, visi kota yang inklusif dapat menjadi kenyataan. Perencanaan perkotaan yang mempertimbangkan kebutuhan semua lapisan masyarakat, termasuk penyandang disabilitas, akan menghasilkan lingkungan sosial yang lebih adil dan setara.
Referensi:
Permen PU Nomor 30 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.
Undang-undang (UU) Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Gorontalo.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI