Mohon tunggu...
Sri Widhiani
Sri Widhiani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

Saya adalah guru SD yang saat ini sedang mengikuti pendidikan Guru Penggerak

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Koneksi Antar Materi Modul 1.4 Budaya Positif

15 Oktober 2023   11:03 Diperbarui: 15 Oktober 2023   11:10 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
LMS Pendidikan Guru Penggerak

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Saya Sri Widhiani,S.Pd, CGP Angkatan 09 Kabupaten Tangerang. Salam Sejahtera bagi kita semua dan salam Guru Penggerak, “Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan”. Pada koneksi antar materi kali ini saya akan menyajikan dalam bentuk Essay, dimana saya akan menjabarkan kesimpulan dan refleksi saya tentang Budaya Positif dan keterkaitannya dengan Filosofis Ki Hadjar Dewantara (Modul 1.1), Nilai dan Peran Guru Penggerak (Modul 1.2) serta Visi Guru Penggerak (Modul 1.3).

A. Kesimpulan

Untuk  menciptakan budaya positif di sekolah, kita harus menerapkan konsep-konsep inti seperti :

1. Disiplin Positif

Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa

“dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ”self discipline” yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka.

(Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka,  Cetakan Kelima, 2013, Halaman 470)

Disitu Ki Hajar menyatakan bahwa untuk mencapai kemerdekaan atau dalam konteks pendidikan kita saat ini, untuk menciptakan murid yang merdeka, syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri, yang memiliki motivasi internal. Jika kita tidak memiliki motivasi internal, maka kita memerlukan pihak lain untuk mendisiplinkan kita atau motivasi eksternal, karena berasal dari luar, bukan dari dalam diri kita sendiri.

Makna disiplin positif yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara maupun Diane Gossen, mengartikan disiplin sebagai bentuk kontrol diri, yaitu belajar untuk kontrol diri agar dapat mencapai suatu tujuan mulia. Tujuan mulia di sini mengacu pada nilai-nilai atau prinsip-prinsip mulia yang dianut seseorang. Kita namakan nilai-nilai tersebut sebagai nilai-nilai kebajikan (virtues) yang universal.

Nilai-nilai kebajikan universal merupakan nilai-nilai kebajikan yang disepakati Bersama, lepas dari suku bangsa, agama, Bahasa maupun latar belakangnya. Nilai-nilai kebajikan universal yang ingin dicapai oleh setiap anak Indonesia terjabarkan dalam Profil Pelajar Pancasila, yang berisi nilai-nilai :

a. Beriman, Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak Mulia

b. Mandiri

c. Bernalar Kritis

d. Berkebhinekaan Global

e. Gotong Royong

f. Kreatif.

2. Motivasi Prilaku Manusia

Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, menyatakan ada 3 motivasi perilaku manusia:

a. Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman

b. Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain.

c. Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya.

Berdasarkan tiga motivasi tersebut kita dapat menggali lebih dalam motivasi apa saja yang paling sering dilakukan manusia dalam penerapan disiplin? Apa pertimbangan positif dan negatifnya? Mana yang lebih berpengaruh terhadap perubahan kea rah yang lebih baik?

Hukuman bersifat satu arah, dari pihak guru yang memberikan, dan murid hanya menerima suatu hukuman tanpa melalui suatu kesepakatan. Sementara disiplin dalam bentuk konsekuensi, sudah terencana atau sudah disepakati; sudah dibahas dan disetujui oleh murid dan guru. Sedangkan Restitusi adalah menciptakan kondisi bagi peserta didik untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat.

3. Posisi Kontrol Restitusi

Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline (1998) mengemukakan bahwa guru perlu meninjau kembali penerapan disiplin di dalam ruang-ruang kelas mereka selama ini. Apakah telah efektif, apakah berpusat, memerdekakan, dan memandirikan murid, bagaimana dan mengapa? Melalui serangkaian riset dan berdasarkan pada teori Kontrol Dr. William Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah Penghukum, Pembuat Rasa Bersalah, Teman, Pemantau dan Manajer.

4. Keyakinan Sekolah / Kelas

Fahami tentang keyakinan kelas sebagai berikut :

  • Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan, yang lebih rinci dan konkrit.
  • Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal.
  • Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif.
  • Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas.
  • Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan tersebut.
  • Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat.
  • Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu.

Adapun Langkah-langkah dalam membuat keyakinan kelas yaitu :

  • Mempersilakan warga sekolah atau murid-murid di sekolah/kelas untuk bercurah pendapat tentang peraturan yang perlu disepakati di sekolah/kelas.
  • Mencatat semua masukan-masukan para murid/warga sekolah di papan tulis atau di kertas besar (kertas ukuran poster), di mana semua anggota kelas/warga sekolah bisa melihat hasil curah pendapat.
  • Susunlah keyakinan kelas sesuai prosedur ‘Pembentukan Keyakinan Sekolah/Kelas’. Gantilah kalimat-kalimat dalam bentuk negatif menjadi positif.
  • Tinjau kembali daftar curah pendapat yang sudah dicatat. Anda mungkin akan mendapati bahwa pernyataan yang tertulis di sana masih banyak yang berupa peraturan-peraturan.
  • Tinjau ulang Keyakinan Sekolah/Kelas secara bersama-sama.
  • Setelah keyakinan sekolah/kelas selesai dibuat, maka semua warga kelas dipersilakan meninjau ulang, dan menyetujuinya dengan menandatangani keyakinan sekolah/kelas tersebut, termasuk guru dan semua warga/murid.
  • Keyakinan Sekolah/Kelas selanjutnya bisa dilekatkan di dinding kelas di tempat yang mudah dilihat semua warga kelas.

5. Segitiga Restitusi

Perhatikan gambar berikut !

a. Menstabilkan identitas

Pada tahap ini kita bertujuan mentabilkan siswa agar tidak merasa gagal, merasa terhakimi, dan lebih memberi perhatian kepada mereka dengan mencoba memenuhi kebutuhan dasarnya. Seperti contoh kalimat berikut :

Berbuat salah itu tidak apa-apa.

Tidak ada manusia yang sempurna

Saya juga pernah melakukan kesalahan seperti itu.

Kita bisa menyelesaikan ini.

b. Validasi Tindakan yang salah

Seorang guru yang memahami teori kontrol pasti akan mengubah pandangannya dari teori stimulus response ke cara berpikir proaktif yang mengenali tujuan dari setiap tindakan. Kalimat-kalimat di bawah ini mungkin terdengar asing buat guru, namun bila dikatakan dengan nada tanpa menghakimi akan memvalidasi kebutuhan mereka.

“Padahal kamu bisa melakukan yang lebih buruk dari ini ya?”

“Kamu pasti punya alasan mengapa melakukan hal itu”

“Kamu patut bangga pada dirimu sendiri karena kamu telah melindungi sesuatu yang penting buatmu”.

“Kamu boleh mempertahankan sikap itu, tapi kamu harus menambahkan sikap yang baru.”

c. Menanyakan keyakinan kelas

Anak akan siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan. Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini menghubungkan keyakinan anak dengan keyakinan kelas atau keluarga.

Apa yang kita percaya sebagai kelas atau keluarga?

Apa nilai-nilai umum yang kita telah sepakati?

Apa bayangan kita tentang kelas yang ideal?

Kamu mau jadi orang yang seperti apa?

6. Keterkaitan antara modul 1.4 dengan 1.1, 1.2 dan 1.3

Budaya positif yang kita kembangkan di kelas ataupun disekolah dalam bentuk disiplin, keyakinan kelas serta penyelesaian masalah disiplin dengan menggunakan segitiga restitusi :

a. Filosofis KHD

Mengarahkan guru untuk selalu berpihak pada murid, tidak mementingkan diri sendiri atau kelompok. Selalu mengutamakan murid dan memperlakukan mereka layaknya manusia sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman.

b. Nilai dan peran Guru Penggerak

Bagaimana guru memposisikan nilai dan perannya dalam menerapkan budaya positif di sekolah.

c. Visi Guru Penggerak

Penerapan budaya positif dapat terwujud karena adanya visi guru dalam merealisasikan mimpinya akan murid-murid di masa depan yang memiliki karakter sesuai Profil Pelajar Pancasila.

B. Refleksi

Setelah mempelajari materi budaya positif, mempraktikkan membuat keyakinan kelas, mempraktikkan segitiga restitusi, saya merasa tergampar cukup keras. Karena saya menemukan diri saya yang banyak sekali kesalahan dalam menerapkan disiplin kelas, yang lebih ke arah penghukum, pemberi rasa bersalah. Semoga ke depannya saya tidak hanya menjadi teman atau pemantau saja tapi juga dapat menempatkan diri sebagai manajer yang baik ke depannya. Dan saya akan mencoba membuat keyakinan kelas sesuai dengan harapan, keinginan dan kenyamanan murid-murid saya di kelas. Dan sayapun akan selalu mencoba menggunakan segitiga restitusi dalam menyelesaikan masalah disiplin yang ada.

Dari kelima posisi control yang ada, sebenarnya baik bagi diri saya maupun rekan-rekan guru lainnya pernah melakukan kelimanya, namun istilah-istilah yang ada menjadi penanda khusus bagi kami untuk lebih memahami, dan saya menyadari bahwa selama ini saya lebih banyak memposisikan diri saya sebagai penghukum kepada mereka.

Sebelum mempelajari modul ini saya pernah melakukan segitiga restitusi, meski belum terarah dengan benar. Hal ini saya lakukan setelah mempelajari tentang filosofis Ki Hadjar Dewantara yang memberi bekal kuat bagi diri saya untuk lebih mengutamakan murid-murid saya dengan tidak menyakiti baik fisik maupun psikhis mereka.

Yang saya praktikkan saat itu dapat dilihat pada kasus bullying yang saya sajikan dalam Demonstrasi Kontekstual https://youtu.be/on9-Hd8hdDQ?si=cp7Z5ziOR25ezVO4. Hal ini benar-benar kejadian nyata yang terjadi di kelas saya dan yang saya lakukan saat itu benar-benar melakukan pendekatan personal kepada mereka tanpa melakukan penekanan dan hukuman kepada murid. Tapi lebih kepada menumbuhkan kesadaran dan kepedulian mereka serta nilai-nilai kebajikan yang seaharusnya.

Demikian paparan singkat saya tentang koneksi antar materi Modul 1.4

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun