Seseorang pantas disebut guru jika tugas yang dilakukan adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan anak didiknya kepada kebaikan.
Bagaimana jika yang dilakukan seorang guru malah sebaliknya. Seperti kasus Herry Wirawan yang tega memperkosa santriwati di pondok pesantren miliknya.
Saya sampai tidak sudi menulis kata guru untuk mengawali nama Herry Wirawan. Sangat tidak patut menempatkan gelar guru dalam namanya. Sungguh mencoreng nama baik dari guru.
Dia bukan guru, dia penjahat seksual berkedok guru. Penjahat yang merusak anak-anak masa depan bangsa tidak pantas disebut guru.
Ironisnya, Herry Wirawan memperkosa santri dalam kondisi apapun. Termasuk, santriwati yang dalam keadaan menstruasi.
Melansir dari laman kumparan, dalam surat dakwaan jaksa menyebut salah satu korban bahkan dipaksa untuk melayani nafsu bejatnya meski sedang haid.
"Ketika anak korban sedang haid terdakwa dengan cara paksa dan kasar terus menyuruh anak korban untuk terus melayani nafsu bejat terdakwa untuk berhubungan intim," demikian bunyi dakwaan.
Kekerasan seksual terhadap anak bukanlah tindakan yang dianggap sepele. Dampaknya bukan hanya dirasakan pada saat ini saja namun juga dimasa mendatang.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana trauma yang dialami oleh korban. Kekerasan seksual merupakan tindakan yang tidak hanya melukai fisik namun juga psikis.
Berhubungan seksual yang dilakukan dalam keadaan menstruasi tidak hanya melanggar hukum agama namun juga berbahaya bagi kesehatan.
Kekerasan seksual merupakan tindakan yang tidak terpuji, apalagi dilakukan dalam kondisi korban tengah mengalami menstruasi.
Dikutip dari hallo sehat, saat menstruasi, tingkat pH cenderung lebih tinggi dari darah sehingga mikroorganisme bisa berkembang lebih banyak.
Risiko yang mengintai jika berhubungan seks saat menstruasi adalah penularan HIV dan infeksi kelamin.
Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual bukan hanya rentan mengalami trauma tapi juga beresiko tinggi terinfeksi HIV.
Jika sudah positif HIV, traumanya bisa jadi double. Risiko dijauhi oleh orang-orang disekitarnya akan menambah beban baginya.
Pada kasus kekerasan seksual yang sering terjadi, biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama bagi korban untuk berani melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya ke ranah hukum.
Rasa takut dan malu yang dialami korban dan keluarga menjadi salah satu faktor yang menjadi hambatan.
Hal ini juga menjadi penyebab pelaku melakukan tindakan berulang kepada korban, bahkan mencari "mangsa" berikutnya.
Semakin maraknya tindakan kekerasan seksual pada anak di Indonesia terutama di lingkungan pendidikan/pesantren menjadi pelajaran bagi kita tentang bagaimana memilih tempat belajar yang tepat untuk anak dan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk memberikan lingkungan yang lebih ramah terhadap anak.
Pesan buat pemerintah yang memiliki kuasa, semoga lebih sering lagi memeriksa, mengaudit kembali pesantren, sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya.
Kasian nasib masa depan anak-anak yang terus direnggut oleh orang-orang yang dianggap teladan baginya. Semoga kasus seperti ini tidak berulang lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H