Mohon tunggu...
Sri Wahyu Ramadhani
Sri Wahyu Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menikmati waktu sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Opini: September Kelam dan Diskriminasi

29 September 2021   18:53 Diperbarui: 29 September 2021   19:14 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bentrok mahasiswa dan polisi di Makassar (sumber: Antara/Abriawan Abhe)

Berbicara tentang HAM, negara kita, Indonesia, termasuk negara yang menjunjung tinggi keberadaan HAM. Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat universal, karena itu harus dijunjung tinggi, dihormati, dan tidak boleh dikurangi, dirampas, dan diabaikan oleh siapapun. 

Di dalamnya juga diatur secara rinci bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas rasa aman, hak atas kebebasan pribadi, hak atas kesejahteraan, dan hak turut serta dalam pemerintahan. 

Dari sekian banyak hak yang dimiliki setiap pribadi manusia, terasa sia-sia jika pribadi itu tidak melakukan kewajibannya sebagai manusia yang harus menghormati hak atas pribadi lain. Karena itu, adanya UU No. 39 Tahun 1999 dengan banyak pasal di dalamnya yang diharapkan dapat mengatur segala Hak Asasi Manusia dan kewajiban dasar.

Perjuangan penegakkan HAM di Indonesia ini sudah dimulai sejak sidang BPUPKI hingga saat ini. Upaya penegakkan HAM yang dilakukan oleh pemerintah dengan pembuatan Undang-Undang, pembentukan Komisi Nasional, membentuk pengadilan HAM, dan lain sebagainya. Pembuatan hukum tentang HAM ini karena banyaknya kasus pelanggaran HAM di Indonesia. 

Namun, pada nyatanya, praktek hukum tersebut dinilai masih kurang karena masih banyaknya kasus pelanggaran HAM hingga saat ini. Praktek hukum HAM ini sudah menjadi PR yang tidak kunjung selesai bagi bangsa Indonesia. 

Berkembangnya zaman seolah tidak berpengaruh apapun terhadap kasus pelanggaran HAM. Itu adalah salah satu indikasi bahwa pemahaman tentang HAM ini masih belum merata dan benar-benar dipahami oleh masyarakat Indonesia.

Selain mengatur tentang HAM di Undang-Undang, pemerintah juga memasukkan materi tentang HAM dalam pelajaran siswa. 

Dengan harapan, siswa dapat memahami apa yang dimaksud dengan HAM dan kewajiban seperti apa yang harus mereka lakukan agar dapat mendapat haknya sebagai manusia. 

Kemudian setelah mereka menjadi mahasiswa, mereka jadi lebih kritis dalam memaknai HAM. Namun ternyata, tidak seperti yang dibayangkan, mahasiswa, akademisi, aktivis, dan jurnalis yang mengangkat isu-isu politik yang sensitif dan mengkritik pemerintah justru diintimidasi.

Tahun 2020 dianggap menjadi tahun pelemahan perlindungan HAM. Amnesty International Indonesia melakukan pemantauan terhadap hak asasi manusia di Indonesia selama tahun 2020. 

Ditemukan adanya respon keamanan yang berlebihan terhadap pandemi Covid-19 dalam sektor perekonomian dan perdagangan. 

Selain itu, Amnesty juga menemui peningkatan jumlah orang yang dihukum karena dituduh menyebarkan berita bohong atau pencemaran nama baik terhadap pemerintah. Sejalan dengan hasil temuan Amnesty, Wakil Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI, Aditia Santoso mengungkapkan bahwa pelanggaran HAM yang tercatat pada tahun 2020, yakni 105 kasus. 

Yang artinya ada peningkatan yang signifikan dari tahun 2019. Terhitung pada enam bulan pertama tahun 2021, sudah terjadi 46 kasus pelanggaran HAM. Mayoritas dari kasus pelanggaran HAM yang terjadi adalah penangkapan sewenang-wenang.

Penangkapan sewenang-wenang yang dilakukan oleh polisi ini tidak sekadar penahanan, tetapi juga kadang polisi membubarkan aksi demo disertai dengan penyiksaan, kriminalisasi, dan penganiayaan. 

Contohnya, adalah Tragedi Semanggi II yang terjadi pada 24 September 1999. Peristiwa Semanggi II menjadi salah satu peristiwa kelam pelanggaran HAM berat. Tanggal 24 September 2021 lalu, tepat 22 tahun peristiwa tersebut terjadi. 

Berawal dari keputusan DPR untuk mengesahkan Undang-undang Penanggulangan Keadaan Bahaya, membuat mahasiswa, akademisi, dan banyak golongan masyarakat lain tidak setuju dan menuntut pembatalan UU PKB. Dari peristiwa tersebut, sebanyak 11 warga sipil tewas dan 217 lain luka-luka. 

Dilansir pada Harian Kompas, 28 September 1999, Tim Pencari Fakta Independen (TPFI) yang dibentuk dari sejumlah pakar berbagai bidang keilmuan, menemukan ada 2 kelompok prajurit yang melakukan penembakan yang membabi buta ke arah massa. 

Meski sudah melaporkan temuan terkait peristiwa tersebut, sampai saat ini belum ada kejelasan hukum pelaku penembakan. 

Seolah menjadi sejarah kelam dari perjalanan perkembangan HAM di Indonesia, Tragedi Semanggi II ini masih menjadi tanda tanya besar atas keadilan bagi pelanggar HAM berat ini.

Selain pelanggaran HAM di atas, ada pula pelanggaran HAM ringan yang terkadang kita tak menyadari adanya pelanggaran tersebut. Salah satu contoh pelanggaran ringan adalah diskriminasi. Sering sekali dijumpai diskriminasi terhadap salah satu kelompok yang bisa disebut "minoritas" di Indonesia. 

Terlebih, Indonesia dengan banyak suku, agama, dan ras, seringkali menjadi dasar adanya diskriminasi dan adanya fanatisme yang berlebihan yang berakibat pada menurunnya sikap toleransi antarmasyarakat. Bisa diambil sebagai contoh dari diskriminasi agama. 

Di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam, masyarakat yang menjadi minoritas di negara ini sering menjadi sasaran diskriminasi.

 Isu-isu diskriminasi ini sering bersinggungan dengan isu politik. Contohnya saat kasus Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang saat itu dalam situasi menjelang Pilkada DKI Jakarta tahun 2017.

Sejumlah demonstran Muslim menggelar unjuk rasa anti-LGBT (Sumber: Antara Foto/Irwansyah Putra)
Sejumlah demonstran Muslim menggelar unjuk rasa anti-LGBT (Sumber: Antara Foto/Irwansyah Putra)

Selain diskriminasi agama, belakangan ramai dibahas tentang fenomena global tentang kaum LGBT. Fenomena ini masuk ke dalam satu isu global tentang hak asasi manusia. Banyak pro kontra yang muncul terhadap komunitas ini. 

Di Indonesia, dengan mayoritas masyarakatnya konservatif, mereka tidak sepakat dengan LGBT. Tak jarang para penganut LGBT mengalami diskriminasi yang nyata dan terasing dari keluarga dan lingkungannya. Diskriminasi ini juga biasanya disertai dengan tindak kekerasan dan juga pelabelan manusia paling berdosa. 

Tentu hal itu memberikan rasa tidak nyaman dan tidak aman berada di lingkungannya. Masalah LGBT memang sangat rumit karena menyangkut banyak hal dalam kehidupan seseorang.

Lalu bagaimana caranya agar menekan sikap diskriminatif terhadap penganut LGBT? Diperlukan kerjasama dari semua lapisan masyarakat untuk membantu para penganut LGBT kembali ke jalan hidupnya yang normal. 

Dengan memberikan edukasi kepada para penganut LGBT melalui intelektual organis. Cara tersebut memang tidaklah mudah, perlu kerja kerja keras dan kecerdasan untuk memunculkan catharsis terhadap hegemoni. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun