Pluralitas keagamaan sangat potensial dalam memperkokoh kebudayaan nasional, namun disisi lain keragaman agama juga membawa potensi konflik, jika para pengikut agama menerapkan konsep superior dan inferior, klaim kebenaran berada pada mereka, mengesampingkan kebenaran agama lain. Dengan kata lain proses komunikasi tidak berjalan seimbang antara pemeluk agama. Mulyana, mengatakan meskipun berbagai kelompok budaya, agama, ras, saling berinteraksi tidak secara otomatis saling pengertian terbentuk diantara mereka. Dalam perspetif ilmu komunikasi, kondisi demikian "karena adanya penilaian menggunakan standar ganda, proses komunikasi dengan retorika "Kami benar, mereka yang salah; menilai dan memandang komunitas tertentu dengan menggunakan acuan norma, kelompok sendiri. Faktanya terjadi di Indonesia termasuk di Maluku Utara. Kasus konflik Ambon meruntuhkan nilai dan norma pela gandong, di Maluku Utara ada konsep marimoi ngone foturu (bersatu kita kuat) juga bernasib sama, termasuk konsep Hibualamo sebagai perekat dan pengayom pluralitas ras, suku dan agama di Halmahera Utara juga retak dan porak-poranda akibat konflik.
Agama berpengaruh dalam totalitas kepribadian para pengikutnya, bahkan penghayatan keagamaan lebih bersifat subyektif dan emosional, jika dibangun atas dasar perasaan sepihak tanpa pertimbangan kebenaran di luar komunitas agama lain, akan sulit terwujud integritas. Ghazali mengatakan "agama merupakan seperangkat kepercayaan, doktrin, dan norma-norma yang dianut dan diyakini kebenarannya oleh manusia.Â
Keyakinan manusia tentang agama, diikat oleh norma-norma dan ajaranajaran tentang cara hidup manusia yang baik". Idealitas agama dalam wujud doktrinasi selalu menyerukan perdamaian, persautuan dan persaudaraan serta menghendaki para pemeluk mengamalkan doktrin tersebut dalam segala aspek kehidupan. Upaya menciptakan harmoni umat beragama diperlukan komunikasi yang baik.Â
Dengan komunikasi setiap orang membangun konsep diri, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup dan menghindari diri dari tekanan dan ketegangan". Melalui komunikasi akan terbangun saling pengertian, sehingga terungkap faktor penyebab konflik yang sesungguhnya. Asumsi bahwa komunikasi memberikan peluang terbangun pengertian bersama sekaligus memperkokoh sikap saling percaya bagi masyarakat yang berbeda keyakinan. Saling percaya melahirkan sikap menguntungkan kedua pihak dalam mewujudkan kerjasama kemanusiaan dalam berbagai aspek kehidupan.
Di Ternate ada simbolisasi memperkuat persatuan dan kesatuan seluruh etnis, suku dan agama yaitu konsep "Marimoi Ngone Foturu" yang maknanya "bersatu kita kuat" lawannya adalah "Masidika ngone foruru" artinya bercerai kita hancur. Makna simbolik dari Marimoi ngone foturu mencakup persatuan antara lapisan masyarakat berbeda etnis, suku dan agama. Namun faktanya, tahun 2001 terjadi konflik horizontal bernuansa SARA. Konflik tersebut telah mencederai simbolisasi persatuan dan kesatuan multietnik dan multiagama.Â
Pertentangan agama menyembul ke permukaan sebagai akumulasi konflik Maluku dan Maluku Utara. Peristiwa konflik ini menyeret seluruh sendi kehidupan masyarakat hancur berantakan, kedamaian dan ketentraman masyarakat terganggu. Ada pengungsi, ada korban jiwa dan harta, serta kesengsaraan berkepanjangan. Analisis teoretis menyatakan bahwa sebagai bangsa, kita belum mampu memposisikan diri dalam membangun "mindfulness" (kesadaran berkomunikasi yang baik dan santun).Â
Kita belum sepenuhnya membangun kesadaran antarbudaya, antaragama, dalam kehidupan manusia. Padahal setiap agama diyakini mengajarkan sikap positif. Kesadaran antarbudaya atau antaragama mengajarkan kedewasaan berfikir dan bertindak, tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, klaim kebenaran sepihak, dengan konsep "in group and out group", atau kita superior dan mereka inverior, akan menyeret setiap komunitas beda agama pada perbedaan kepentingan dan keyakinan yang membangkitkan emosional destruktif sehingga melahirkan konflik.
 Pada saat konflik, komunitas Kristen di Ternate mengungsi ke luar Ternate. Hilanglah sekat kebersamaan dalam bingkai persatuan untuk membangun Kota Ternate yang berbudaya, kota yang pluralis, dengan ragam etnis dan agama. Tahun 2001 atas prakarsa pemerintah daerah dan pemerintah Pusat, terciptalah rekonsiliasi damai antara komunitas yang bertikai. Konflik, menurut sebagian orang disebabkan rebutan wilayah politik, wilayah ekonomi, dan menyeret wilayah agama. Muncul kesadaran membangun kebersamaan dalam bingkai persatuan dan kesatuan. Komunitas Islam maupun Kristen di Kota Ternate kembali menyatu dalam kehidupan masyarakat pluralis, proses komunikasi dan interaksi sosial telah terbangun kembali, aktivitas ekonomi dan politik dalam suasana kehidupan masyarakat yang perlahan mulai kondusif.
Proses Hubungan Sosial Komunitas Islam dan Kristen
Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan orang lain dalam proses interaksi dan komunikasi sosial. Dalam hubungan sosial tersebut, terjadi pertukaran informasi, pertukaran pengalaman, adanya ide, gagasan, dengan latar belakang budaya dan karakter orang-orang yang terlibat proses komunikasi sosial. Setiap orang dari komunitas berbeda harus memiliki pemahaman yang luas tentang perbedaan latar belakang baik agama, budaya, karakteristik, sehingga tidak menjadi kendala dalam proses komunikasi sosial.
Proses komunikasi sosial, setidaknya mengisyaratkan untuk membangun konsep diri, aktualisasi diri, demi kelangsungan hidup, memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, memupuk hubungan dengan orang lain.