Mohon tunggu...
Sri Wahyuni
Sri Wahyuni Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UIN Bandung (Ilkom Jurnalistik)

Menulis everytime

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Cancel Culture di Media Sosial: Fenomena, Dampak dan Cara Menghadapinya

31 Oktober 2024   16:09 Diperbarui: 31 Oktober 2024   16:09 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber gambar: pixabay.com)

Dalam beberapa tahun terakhir, cancel culture telah menjadi fenomena yang kerap kita jumpai di media sosial. Istilah ini merujuk pada praktik masyarakat yang menghentikan dukungan atau interaksi dengan seseorang yang dianggap telah melakukan kesalahan besar atau perilaku yang kontroversial. Meski awalnya bertujuan memberikan sanksi sosial bagi mereka yang bertindak melampaui batas, cancel culture sekarang menjadi perdebatan yang memicu berbagai pandangan, baik positif maupun negatif.

Pada dasarnya, cancel culture adalah bentuk boikot kolektif terhadap individu atau kelompok yang dinilai melanggar norma-norma sosial atau etika. Di era digital, cancel culture meluas dengan sangat cepat melalui media sosial, di mana komentar atau perilaku seseorang bisa menjadi viral hanya dalam hitungan menit. Seorang figur publik, selebriti, atau bahkan orang biasa dapat dibatalkan oleh publik setelah tindakan atau perkataan mereka dianggap ofensif.

Dampak Cancel Culture di Media Sosial :

1. Peningkatan Kesadaran Sosial
Cancel culture sering kali membuat orang lebih sadar dan peka terhadap isu-isu seperti rasisme, seksisme, atau pelecehan. Banyak kasus cancel culture yang memberikan efek positif dengan mendorong diskusi publik dan memaksa individu atau institusi untuk memperbaiki diri.

2. Tekanan Psikologis

Individu yang terkena cancel dapat menghadapi tekanan psikologis yang cukup besar, mulai dari stres, kecemasan, hingga isolasi sosial. Mereka mungkin kehilangan pekerjaan, reputasi, dan bahkan mengalami gangguan kesehatan mental karena serangan negatif yang terus menerus.

3. Efek Domino pada Karier dan Kehidupan Pribadi
Di luar tekanan mental, cancel culture bisa berdampak jangka panjang terhadap karier seseorang. Banyak perusahaan atau mitra kerja yang mundur dan mengakhiri kontrak kerja sama untuk menjaga reputasi. Bagi figur publik, reputasi yang rusak bisa menghancurkan karier dalam waktu singkat.

4. Perdebatan tentang Kebebasan Berpendapat
Cancel culture sering dianggap menghambat kebebasan berpendapat. Banyak orang merasa khawatir untuk menyuarakan pendapat mereka, terutama terkait isu-isu sensitif, karena takut diserang atau dikecam publik. Hal ini menciptakan suasana yang 'mengekang', di mana kebebasan berpendapat dibatasi oleh ketakutan akan reaksi publik.

Lalu Bagaimana Menghadapi Cancel Culture di Media Sosial?

1. Pahami Risiko Sebelum Berkomentar
Dalam era digital ini, komentar atau perilaku yang dianggap sensitif bisa menyebar cepat dan menimbulkan konsekuensi. Sebelum memposting sesuatu, pertimbangkan baik-baik risiko yang mungkin timbul dan bagaimana hal tersebut dapat memengaruhi citra Anda.

2. Jaga Etika dan Empati dalam Berinteraksi
Hindari komentar atau tindakan yang dapat dianggap melecehkan atau tidak sensitif terhadap isu tertentu. Menjaga sikap empati dan sopan santun dalam berinteraksi adalah salah satu cara terbaik untuk menghindari kontroversi.

3. Respons yang Terukur saat Menghadapi Kecaman
Jika sudah terlanjur menjadi sasaran cancel culture, upayakan untuk merespons dengan bijak. Terkadang, permintaan maaf yang tulus dapat meredakan situasi. Selain itu, introspeksi dan evaluasi diri penting agar Anda memahami kesalahan dan memperbaiki diri.

4. Bangun Dukungan Positif
Memiliki komunitas atau jaringan pendukung yang kuat bisa membantu Anda bertahan dari tekanan cancel culture. Lingkungan yang suportif dapat menjadi tempat untuk mendapatkan masukan dan dukungan saat menghadapi tekanan sosial.

Cancel culture di media sosial mencerminkan kekuatan opini publik dalam menilai dan menghukum tindakan yang dianggap tidak pantas. Fenomena ini memiliki sisi positif, yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap isu-isu sosial, namun juga dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan kebebasan berpendapat. Adanya  pendekatan yang bijak dan sikap empati, kita bisa memanfaatkan media sosial sebagai ruang diskusi yang sehat dan konstruktif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun