Mohon tunggu...
Sri Sutrianti
Sri Sutrianti Mohon Tunggu... Guru - Guru IPA SMP

tertarik belajar menulis sebagai upaya ekspresif terapi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kyai Sangkelat

22 November 2024   05:07 Diperbarui: 25 November 2024   16:31 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di lembah Trowulan, malam mendekap hening,
Bintang-bintang bersujud pada keagungan yang bening.
Empu Supo, sang hamba yang fakir dan fana,
Menatap besi yang bisu, tapi menyimpan jiwa.

"Ya Rabb, wahai Sang Pemilik Segala,
Jadikan tanganku pengantar rahmat-Mu yang baka.
Besi ini kelak akan bicara,
Menyebut nama-Mu dalam setiap bilahnya."

Raja Brawijaya V hadir, membawa titah yang mendalam,
"Empu, jadikan pusaka ini penjaga Majapahit.
Namun lebih dari itu, jadikan juga dia doa,
Penyambung antara langit dan manusia."

Empu Supo menjawab, dengan hati yang tunduk,
"Tuan, keris ini akan menjadi jalan yang penuh liku.
Seperti jalannya para pencari hakikat,
Luk Tigabelas melambangkan tasbih yang khusyuk dan padat."

Luk pertama adalah langkah awal, penuh gelora,
Seperti Qalb manusia, bergemuruh dan mencari cahaya.
Luk kedua adalah nafs, yang harus dilembutkan,
Dalam perjalanan ini, kesabaran adalah teman.

Luk ketiga hingga tigabelas, semakin mendalam,
Jiwa bergerak menuju fana dan diam.
Hingga di puncaknya, tiada lagi diri,
Hanya Sang Wujud Tunggal yang sejati.

Pamor Wos Wutah terhampar seperti rahmat,
Mengajarkan raja untuk hidup sebagai rahmat umat.
"Engkau pemimpin," ujar sang empu dalam dzikir,
"Bagai hujan yang turun, menyuburkan setiap bibir."

Sor-soran di pangkal bilah adalah tauhid,
Kokoh dalam iman, teguh dalam kasih.
"Ya Malik," gumam sang empu, menahan tangis,
"Pusaka ini akan melindungi mereka yang lurus."

Ketika keris selesai, Sang Raja menunduk,
Memandang bilah yang memancarkan doa yang syahdu.
"Apa maknanya, wahai empu yang sufi?"
"Maknanya, Tuanku, adalah jalan untuk memahami diri."

Empu Supo melanjutkan, lirih dan lembut,
"Tanpa nurani, keris ini hanya besi yang menyusut.
Namun dengan kebijaksanaan, ia menjadi pelita,
Penunjuk jalan di tengah gulita dunia."

Sang Raja menyentuh bilah dengan doa,
"Wahai Tuhan, jadikan aku pemimpin yang taqwa.
Kyai Sangkelat, bukan sekadar pusaka,
Engkau adalah dzikir yang mengalir dari para penjaga."

Kini, Kyai Sangkelat adalah dzikir dalam sejarah,
Bilahnya tajam, tapi menyimpan cinta yang ramah.
Ia bukan hanya milik raja atau tanah,
Tapi warisan jiwa bagi yang mencari hakikat nan indah.



Bandung, 22-11 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun