Puncak Diam
Di puncak tua, angin berdiam
Wayang Windu lahir dari kisah malam
Menggetar jiwa dengan sunyi yang dalam
Lukisan sejarah terhampar di lereng-lereng
Gunung menunduk, langit meregang
Waktu seolah berhenti, diam membentang.
Langit biru berselimut kabut putih
Matahari mencium puncak, penuh kasih
Angin mendesah, nyanyian alam merintih
Hijau hamparan, pohon-pohon mendengar
Danau di kejauhan meresap sabar
Segalanya seolah berbisik, hening mengajar.
Filosofi tersembunyi di setiap guratan
Tentang hidup yang senantiasa berkelana dalam renungan
Pada semesta yang penuh dengan pertanyaan
Di sini, Wayang Windu bicara tentang waktu
Tentang nasib, kehidupan yang abu-abu
Dan akhirnya, keabadian itu sebuah temu.
Angin dan Kabut
Angin menggulung di lembah yang lengang
Di Wayang Windu, kabut turun perlahan
Seperti kenangan yang kembali dalam tenang
Di antara daun teh hijau yang berbisik halus
Pohon-pohon tua berdiri dengan kokoh tak terhapus
Mengawal sejarah, mengikat waktu yang terputus.
Warisan Belanda tersembunyi dalam bayang-bayang
Kebun teh itu menua dalam diam panjang
Seolah abadi dalam pelukan bukit yang terang
Lembut aroma tanah, diiringi nyanyian malam
Meresap hingga ke dalam sukma yang kelam
Di sini, waktu bicara dengan gema yang dalam.
Mistik angin membawa bisikan yang pilu
Wayang dan kabut menari di atas rindu
Saling menyapa dengan bayangan yang semu
Filosofi terpahat di jalan setapak batu
Tentang hidup, nasib, dan akhir yang tak menentu
Di Wayang Windu, semuanya bertemu.
WAyang Windu Panenjoan, 07 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H