Sesekali terdengar deru  sepeda motor tua yang datang untuk mengangkut hasil bumi itu.  Tidak mau  terhambat oleh jalan mendaki yang buncah dan bongkah tanah basah karena deras hujan. Pengendaranya akan turun dengan mesin yang dimatikan, penuh semangat dan tangkas, kemudian membawa hasil panen ke arah tempat pengepul di bawah, melalui ladang cabai dan seledri.Â
Melintasi tenda-tenda putih yang berjejer di sekitar  perkebunan Palawija itu.Beberapa kali kami berhenti untuk mengambil foto bersama di dalam kawasan eksplorasi.Â
Setiap sudut Cadas Panjang menawarkan pemandangan yang memukau, dan momen-momen tersebut kami abadikan  dengan kekaguman akan sensasi rasa yang sulit kami representasikan.
 Semangat kami masih menyala, meskipun lelah mulai terasa. Di separuh Desa Lebak Muncang, tanaman  jadi monoton. Hutan tropis yang tadi  menakjubkan itu seperti kehilangan diversitasnya. Pohon-pohon kayu putih yang tadi  menguasai area. Yang tadi berjajar rapi.
Berganti pemandangan menjadi sengkedan-sengkedan "tanaman produktif" Â hamparan perdu, daun wortel, Strawberry, Brokoli dan Selada air. Dan entah kenapa saya merasakan sensasi lain. Sensasi magis, megah dan eksotik itu telah hilang di sini. Tanaman di sini terlihat rapi, jinak dan benderang.
Saya pulang dengan hati yang penuh rasa kagum terhadap keajaiban alam dan tekad untuk terus menjaga kelestariannya. Sesaat saya tertegun: jika ada yang berharga dengan  apa yangakan  kami lakukan itu.  Maka itu adalah membuat sesuatu yang bukan untuk diri sendiri.
Pohon-pohon itu mempertautkan mereka yang akan hidup dengan kami yang akan mati. Yang akan terbenam seperti humus yang kami injak-injak  sepanjang perjalanan di hutan tadi, dan kemudian dilupakan.
"Harapan itu seperti jalan di hutan: semula tak ada. Ia jadi ada karena berulangkali orang menembus belukar yang di sana". -Lu Xun.