Pada awal sebuah pagi bunga-bunga merekah, cahaya berpendar
Titik embun berkilauan jingga menghampari semesta
Sekawanan awan berarak berlenggok menari dalam belaian angin senja
Keindahan sapuan mentari mengantar rembang petang.Â
Air laut berkilau tersentuh cahaya purnama dan gugus bintangÂ
Galaksi begitu indah dalam keteraturan, dia melesat menjauhi titik pandang
Harmoni yang menakjubkan, semesta terpelihara dalam rengkuhan Kasih sayang
Â
Apa jadinya bila bunga tak mekar malah kerontang, dan cahaya tak datang?
Apa jadinya bila mata tak bisa memandang yang terpajang?
Keindahan hanya nikmat bagi sisa nurani.
Apa jadinya bila  lintasan galaksi dan bintang-bintang  saling bertabrakan?
Apa jadinya bila langit dan bumi bertemu dan menyatu?
Hanya sebuah tanda, garis lurus yang nyata
Cakrawala.
Dunia memberiku hal-hal tak kumengerti
Kukemas menjadi sekotak misteri
Â
Hidup yang dijalani hanya misteri
Segalanya tak abadi
Kesenangan berubah menjadi kesengsaraan
kemewahan berganti kemiskinan, dan senyuman bertukar tangisan.
Aku harus siap kecewa
Namun mensyukuri apa yang fana
Bukankah fana tercipta karena adanya yang baqa?
Meskipun baqa bukan kita
Tiba-tiba terasa ada yang mengalir menggetarkan dada di dalam kalbuÂ
Seperti ada keluasan yang menghampar
Semula kusangka  keluasan ada dalam semesta
ternyata aku keliru
:Keluasaan hanya ada di dalam kalbu
  Puisi bebas ini terinspirasi dari lagu ciptaan Gombloh yang dinyanyikan Soelih Soejatno dengan judul "Misteri Galaxy"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H