Mohon tunggu...
Sri Sutrianti
Sri Sutrianti Mohon Tunggu... Guru - Guru IPA SMP

tertarik belajar menulis sebagai upaya ekspresif terapi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

H e n i n g

29 Mei 2024   07:15 Diperbarui: 29 Mei 2024   07:23 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam itu adalah hari terakhir puasa di bulan Ramadan. Orang- orang bersukacita menyambut hari raya. Suara takbir bergema di setiap sudut ruang Terdengar teriakan anak- anak yang sedang berlarian di halaman. Kota riuh Sesekali terdengar bunyi  petasan yang kemudian tercium bau bubuk  mesiu yang bercampur dengan aroma rempah kari dan rendang dari dapur peradaban. Aroma memabukkan."Dimana ibuku?" Aku mencarinya ke setiap ruang. Di dapur hanya ada bau rempah rendang, di ruang tamu ada wangi sedap malam. Kemudian aku berlari ke kamar, dari luar  tercium bau amis  bercampur petasan.
" Dimana  Ibu?" Aku terus mencarinya dengan dada berdebar.

Di dalam kamar aku melihat dinding semerah darah. Lantai basah. Dadaku beku, jantungku seakan tak berdegup. Aku tergugu.  Di pojok kamar teronggok sesosok tubuh di depan lelaki  yang matanya memerah dan mulutnya memuntahkan bah. Tangannya memegang senjata dan wadah peluru. Aku membatu.

Tiba-tiba seperti ada badai yang menerbangkanku menghantam  sosok di pojok itu. "Dia Ibuku" aku memekik melampaui langit.  Kupeluk dia, kuelus dia, kuciumi dia hingga aku basah berlumuran darah. Aku raba dadanya yang basah, dingin. Sepi,  tak ada lagi detak kehidupan.

Aku menoleh ke arah laki laki yang berdiri di depanku. Dia tersenyum gusar. Aku terisak di hadapannya, aku mendekatinya dan berlutut di kedua kakinya. Kemudian, tiba-tiba  dia menjatuhkan senjata dari tangannya, melocoti seragam kebesarannya.

"Bapak sudah membunuh Ibumu"
" Bapak harus menyerahkan diri sekarang"
Tangisku makin kuat, aku pegang kedua kakinya.  Aku berdiri, kutatap wajahnya.

" Pak, kalau bapak menyerahkan diri, aku dengan siapa, lalu Ibu bagaimana?".

Tak sadar aku pukul perutnya berulangkali.  Kemudian kugigit punggung tangannya.  Dia mendorong badanku, hingga terpental dan jatuh.

Aku ingat, bagaimana dulu  laki- laki itu selalu mengajakku memancing di laut. Atau mengajakku bermain layang- layang, walaupun aku anak perempuan. Dia bukan hanya sekedar tempat bermanja-manja dan tempat berkeluh kesah tetapi juga tempat bercerita tentang bagaimana mewujudkan cita-cita. Dia tidak akan mau melihat anak-anaknya menderita, walaupun masa kecilnya penuh dengan penderitaan dan kekurangan. Dia adalah figur yang tak tergantikan. Dia panutan.
 
Tapi

dia sudah berubah menjadi manusia lain. Kartu remi, meja judi dan botol whisky merubah jatidiri.  Dia bukan panutanku lagi. Pembunuh berdarah dingin yang keji. Aku melihat wajahnya pucat pasi. Apakah dia tengah membuat strategi?. Dia menghela nafas panjang, kemudian menggotong jasad ibuku dan menelentangkannya di atas dingin ubin. Mulutnya membacakan do:a, kemudian dia kecup kening jasad ibu. Dia tarik tanganku, kemudian aku berada dalam pelukan dan Isak tangisnya. Tangis tanpa airmataAku tak mengerti mengapa dia berbuat sekeji itu. Bagaimana aku melanjutkan hidup tanpa ayah dan ibu.  Ibu memberiku perlindungan dan pertahanan. Dan kau ayah,  mengajariku merebut dan membuka jalan berbagai kemungkinan. Engkau ayah yang bijaksana, memberikanku kasih sayang, kelembutan, kehangatan dan cinta. Menciptakan tawa dan rasa riang. Meluruskan aku dari kesalahan. Namun engkau tak mampu bertahan dalam ujian kehidupan. Engkau tak mampu meledakkan keyakinan akan janji Tuhan.

Kemudian dia membalikkan tubuhnya dan berjalan gontai keluar. Di balik pintu tampak empat  wajah adikku. Aku berdiri, kemudian menghampiri mereka. Perasaanku hampa. Kudekap mereka semua.
"Ibu sudah tiada, dan Bapak harus pergi mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada yang berkuasa"
Ya, perkara besar ini akan dibereskan Tuhan. Aku tertunduk menahan haru
Kuciumi mereka satu persatu sambil berkaca kaca. Yang Maha Asih, berikan rasa welasmu. Yang Maha memberi petunjuk, tunjukkan Arah jalanku!
Malam ini menjadi hening. Hati menjadi kering.

Biarlah,
yang pergi menjadi debu
Yang hilang menjadi abu
Yang singgah, menggalang harapan yang telah lenyap
Yang datang, menghimpun doa dari langit  yang senyap
Dan malam semakin hening

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun