Mohon tunggu...
Sri Sutrianti
Sri Sutrianti Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP

tertarik belajar menulis sebagai upaya ekspresif terapi.

Selanjutnya

Tutup

Seni

Batik, Biji Asam Jawa dalam Tradisi

28 Mei 2024   10:35 Diperbarui: 28 Mei 2024   10:49 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Desain batik di atas salah satu desain yang saya buat pada pameran di Paviljoen Hotel Bandung dengan tema " Batik Nusantara Jejak Batik Tradisi ke Kontemporer". Diselenggarakan 7 Juli- 7 September 2023 lalu.  Dan saya beri judul "Dancing petals"

Batik  merupakan seni tradisional yang telah diwariskan secara turun temurun di berbagai budaya di seluruh dunia. Salah satu metode pembatikan yang unik dan menarik adalah metode Gutha Tamarin.Proses pembatikan dengan metode Gutha Tamarin dimulai dengan pemilihan kain berkualitas tinggi yang biasanya terbuat dari serat alami seperti katun atau sutra.

Kata "guta" berasal dari bahasa Jawa yang memiliki arti "lilin", yang merujuk pada bahan utama yang digunakan dalam proses pembuatan batik. Sedangkan "tamarin" merujuk pada getah dari pohon Tamarindus indica, atau lebih dikenal dengan pohon asam Jawa. Getah ini biasanya dicampurkan dengan lilin untuk menciptakan campuran yang digunakan sebagai bahan penghalang pada kain batik tradisional. Jadi, "gutha tamarin" secara harfiah dapat diartikan sebagai "lilin yang dicampur dengan getah tamarin"

Dalam teknik gutha tamarin, seringkali digunakan pewarna alami yang berasal dari tumbuhan, seperti Indigofera tinctoria untuk warna biru dan Morinda citrifolia untuk warna merah. Penggunaan pewarna alami ini lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan pewarna sintetis yang seringkali mengandung bahan kimia berbahaya dan sulit terurai di alam.(https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC10948525/)

Berikut adalah rangkaian langkah dalam proses tersebut:


1. Pemilihan Desain: Desain atau motif yang akan dibatik dipilih dengan cermat. Motif-motif ini seringkali memiliki makna simbolis yang dalam dan mewakili budaya dan tradisi lokal.


2. Penciptaan Pola: Pola tersebut kemudian diterapkan ke kain dengan menggunakan serbuk biji asam jawa (gutha) yang dicampur dengan lemak hewani atau lemak nabati seperti kemiri. Lemak sebagai pengganti lilin (wax)berfungsi sebagai penghalang yang mencegah pewarna menyebar ke area yang dilindungi.


3. Pewarnaan: Kain  diberi warna untuk motifnya, kemudian direndam dalam pewarna lain untuk warna dasar. Bisa dipakai pewarna alami bergantung pada kebiasaan  dan tradisi lokal. Proses pewarnaan ini dapat melibatkan beberapa tahap, dengan kain direndam berkali-kali untuk mencapai warna yang diinginkan.


Pastikan Anda menggunakan bahan pewarna alami yang berkualitas dan segar. Semakin segar bahan pewarna alami yang anda gunakan, semakin cerah warna yang akan dihasilkan.Beberapa bahan alami seperti asam cuka atau asam sitrat dapat digunakan sebagai bahan penambahan untuk membantu meningkatkan kecerahan warna. (https://www.researchgate.net/publication/287385748_Natural_Dyeing_of_Silk_Fabric_Using_Eco-Friendly_Mordants)


4. Penghilangan Lilin: Setelah proses pewarnaan selesai, lilin yang melindungi pola akan dilelehkan atau dicuci, meninggalkan pola yang indah dan tahan lama di atas kain.


5. Penyelesaian dan Finishing: Kain kemudian dikeringkan dan di-set untuk mengunci warna. Setelah itu, kain dapat di-finishing dengan cara menyetrika atau menjalani proses tambahan sesuai dengan kebutuhan.Beberapa bahan alami memerlukan penggunaan mordan (zat pengikat) untuk meningkatkan daya serap warna pada serat kain. Beberapa mordan yang umum digunakan dalam pewarna alami antara lain adalah tawas (alum), tanin (asam tanat), dan ferrous sulphate (besi sulfat)..

Dengan menggunakan pewarna alami dan metode tradisional dalam pembuatan batik, teknik gutha tamarin membantu mengurangi jumlah limbah kimia yang dihasilkan oleh industri tekstil. Hal ini membantu dalam menjaga kualitas air dan tanah di sekitar lokasi produksi, serta mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan hidup.


Tidak hanya sekedar teknik pembuatan kain, membatik  juga mengandung nilai filosofis yang mendalam. Filosofi ini tercermin dalam kesabaran dan ketelitian yang diperlukan dalam setiap proses pembuatan batik. Selain itu, penggunaan lilin (gutha) sebagai bahan penghalang menggambarkan konsep kontrol atas kehidupan, dimana kita harus memahami kapan untuk menahan dan kapan untuk melepaskan.


Pola-pola yang dihasilkan dari proses membatik  ini  memiliki makna simbolis yang dalam. Mencerminkan nilai-nilai budaya dan spiritual masyarakat Indonesia. Misalnya, motif batik parang menggambarkan kesinambungan hidup, sementara motif kawung melambangkan keadilan dan harmoni.


Penggunaan pewarna alami dalam pembatikan mengaitkan praktik ini dengan alam dan lingkungan sekitar. Ini memperkuat kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan ekologis.
Dalam beberapa kasus, penggunaan bahan-bahan alami dalam teknik gutha tamarin juga dapat memberikan dampak positif untuk pelestarian keanekaragaman hayati, karena penggunaan tanaman-tanaman tersebut untuk tujuan ekonomi dapat mendorong upaya pelestarian habitat dan populasi tanaman tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun