Ilmu Ekonomi Syariah adalah ilmu yang mempelajari segala aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan yang banyak dengan sumber daya alam yang terbatas yang bertumpu pada syariah. Karakteristik ekonomi syariah yaitu suatu ekonomi yang bertumpu pada sistem nilai dan etika yang berlandaskan tauhid dan keadilan dengan tujuan mencapai falah(kebahagian dunia dan akhirat).
Sistem ekonomi syariah adalah sistem ekonomi pasar yang berkeadilan dimana terletak aturan-aturan dan etika yang harus ditegakkan oleh para pelaku pasar; yaitu adil dalam takaran dan timbangan, jujur dan transparan dalam bertransaksi, tidak melakukan jual beli najasy (mempergunakan jasa orang lain untuk mempengaruhi pembeli dengan cara berpura-pura memuji dan menawar barang dagangan agar orang terpancing membelinya), tidak melakukan talqy rukban(menjemput barang dagangan kepemiliknya diluar kota serta membelinya dengan harga dibawah pasar dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang lebih besar), tidak menjual kepada orang lain barang yang belum sempurna dimilikinya, tidak melakukan ikhtikar(penimbunan barang), tidak melakukan transaksi ribawi, maisir,dan gharar.
Sistem ekonomi syariah bukan bersifat kapitalis-individualistis walaupun dalam ekonomi syariah mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi kemudian faktor faktor produksi dan lain sebagainya, namun dalam islam kepemilikan kekayaan pribadi harus ikut serta berperan sebagai kapital produktif dengan tujuan meningkatkan besaran produk nasional dan kesejahteraan masyarakat.
Ekonomi syariah juga bukan ekonomi sosialis-kolektifwalaupun kepemilikan individuitu dibatasi oleh dua hal yaitu harta tidak boleh diperoleh denga cara yang tidak sah menurut syariah dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Sebagai contoh individu tidak boleh memiliki sumber daya alam yang dimanfaatkan secara bersama-sama, seperti sabdah rasulullah “manusia bersekutu dalam tiga macam benda yaitu rumput, air dan api.” Dari hadis ini telah jelas bahwa individu tidak boleh memiliki padang rumput seperti hutan dan jalan, sumber air dan sumber api (minyak, batubara, gas dan listrik) ketiga sumber daya tersebut harus dikelola oleh negara sesuai dengan pasal 33 UUD 1945.
Perputaran sektor keuangan (financial turn over)harus berbanding lurus dengan perputaran sektor riil, dan tidak menciptakan pertumbuhan ekonomi yang semu (bubble economy).pertumbuhan ekonomi semu dewasa ini masih dipicu oleh semangat ekonomi konvensional yang ditandai oleh rendahnya kegiatan pada sektor riil dibanding dengan sektor moneter dan keuangan. Hal ini terlihat dari rendahnya LDR (Loan to Deposit Ratio)pada bank-bank konvensional dan sedikitnya investasi pada sektor riil.
Perbankan syariah tercatat sebagai lembaga keuangan yang mampu menyalurkan kembali seluruh dana yang telah dihimpun dari masyarakat (DPK) untuk kepentingan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dalam catatan Bank Indonesia ataupun Otoritas Jasa keuangan (OJK) menunjukkan FDR perbankan syariah dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan. Pada tahun 2012, FDR perbankan syariah secara nasional mencapai angka 100% di tahun 2013 mencapai 103.32% dan di tahun 2014 menunjukkan angka 98.6% dan di tahun 2015 FDR perbankan syariah secara nasional menunjukkan angka sebesar 127.54%.
Dari data diatas Dapat dilihat bahwa rata-rata pembiayaan yang dilakukan perbankan syariah ternyata telah sesuai dengan ketentuan strandar BI antara 80% sampai dengan 110%. Hal ini berarti bahwa perbankan syariah telah berperan secara optimal sebagai lembaga perantara antara pemilik modal dengan nasabah dalam rangka memperkuat pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Apabila kecenderungan ini dapat berlangsung terus menerus dengan baik, maka perbankan syariah jelas telah memberikan kontribusi ataupun sumbangan yang sangat besar bagi pergerakan sektor riil pada pertumbuhan ekonomi nasional. Sekaligus hal ini mengindikasikan bahwa kecil kemungkinan bank syariah menanamkan dananya pada bank indonesia.
Berbeda dengan perbankan syariah, perbankan konvensional mempunyai kecendrungan menyalurkan kredit kepada nasabah berkisar rata-rata 50% sampai dengan 60%. Besaran LDR bank konvensional semacam ini mengindikasikan bahwa dana yang tersisa dijadikan sebagai dana “nganggur” dengan tujuan semata-mata mengharapkan keuntungan dari bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Banyak pengamat ekonomi dan perbankan mensyinsalir bahwa dana yang semestinya digunakan oleh sejumlah pemerintah daerah seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD) di negeri ini tidak disalurkan sepenuhnya untuk pemberdayaan masyarakat, sebahagian ditanamkan di bank konvensional, selanjutnya karena bank konvensional over likuid, maka pilihan yang akan dilakukan oleh bank konvensional adalah dengan menanamkannya ke Bank Indonesia. Perbankan yang mengambil kebijakan semacam ini jelas telah berupaya mengembalikan dana daerah kepusat padahal dana tersebut sangat dibutuhkan untuk menggerakkan pembangunan daerah. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara sektor riil dan sektor moneter.
Krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 salah satu penyebabnya adalah kesenjangan antara sektor riil dan sektor moneter. Oleh sebab itu prioritas untuk mendukung dan mengembangkan ekonomi syariah bukan hanya sekedar pilihan emosinal tetapi sebuah alternatif pilihan rasional dan bijak serta sekaligus jalan keluar yang adil dari krisis yang sedang dihadapi, kalau saja negara dan bangsa ini tidak mau terjebak lagi dengan kondisi bubble conomy.
Oleh: Sri Suharni
Mahasiswi Program Magister Ekonomi Syariah
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H