Mohon tunggu...
Sri Sugiastuti
Sri Sugiastuti Mohon Tunggu... -

Saya seorang Muslimah, pemilik http//astutiana.blogspot.com.Nenek dari 3 orang cucu, mengajar di SMK Swasta Surakarta. Punya passion menulis dan berbagi kisah hidayah dari orang-orang yang ada di sekitar saya. Tidak ada kata terlambat dalam belajar, dan amat sangat berharap mendapat kemudahan dalam menggapai ridha Allah. Mempunyai moto bahwa “Hidup adalah berjuang untuk taat pada aturan Allah sampai ajal menjemput” Punya obsesi berdakwah lewat tulisan. Kontak person 085728304241 atau akun fb. http://www.facebook.com/astutiana.sugiastuti. twitter@astutianaM ...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kidung Hidupku (4)

9 Juni 2013   20:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:17 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

4. EYANGKU SAYANG

Eyang Retno bukan Eyang biasa. Namanya Eyang Retno Kumala Sari. Dia punya 6 anak yang salah satunya adalah ibuku Susi Kartika Dewi. Kecantikan Eyang masih tersisa dari senyum dan guratan alis tebal dan hidungnya yang mancung masih terlihat jelas. Walau sudah tua semangat hidup dan maunya masih banyak. Padahal staminanya tidak sekuat dulu lagi. Karena uang pensiunnya lumayan banyak, Eyang masih suka ngadisaliro, dia punya anggaran untuk beli baju, pijat, ratus rambut dan hal hal lain yang sangat memanjakan dirinya.

Sayangnya Eyang punya hobi berjudi dengan kartu “Ceki” sejenis permainan kartu yang memiliki perpaduan ornamen antara Jawa, Cina dan Belanda. Kartu Ceki itu juga digunakan Eyang untuk meramal nasibnya selama seminggu. Eyang punya mantra mantra khusus yang dibaca dalam ritual yang dianggap sakral. Walaupun Eyang Retno punya “penyakit masyarakat” itu istilah ayah untuk hobi Eyang yang suka berjudi, dia tetap peduli dengan anak dan cucunya. Eyang menghabiskan sisa umurnya dengan bersenang senang dan bernostalgia dengan apa yang biasa dialami ketika masih muda.

Eyang Kakung sudah berpulang, tak lama setelah menikahkan anak bungsunya. Om Kusuma. Keluarga Eyang termasuk keluarga yang mampu karena Eyang Kakung pensiunan pegawai pabrik gula di Tasik Madu Karanganyar. Uang pensiun yang Eyang terima tiap bulan juga lumayan. Aku yang biasa mengantar Eyang mengambil uang pensiun tiap bulan di kantor pos. Tahu persis berapa yang diterima Eyang tiap bulan.

Selesai mengambil uang di kantor pos biasanya Eyang mengajakku mampir ke Pasar Gede untuk beli dawet dan kebutuhan Eyang lainnya. Kegiatan ini paling aku suka, karena aku bisa meminta apa yang aku perlukan. Sejak Eyang tinggal bersama ibu dan ayahku dan kebetulan kamarnya bersebelahan denganku. Aku lah cucu kesayangannya. Ibu seakan menyerahkan sepenuhnya semua kebutuhanku pada Eyang kecuali uang sekolah dan makan sehari hari.

Seperti siang ini, sepulang sekolah becak langganan kami sudah menunggu dan Eyang pun bergegas naik becak bersamaku menuju kantor pos. Belum juga sampai kantor pos aku sudah mengatur rencana. Aku selalu berusaha mengambil keuntungan pada moment moment seperti ini.

“ Eyang kelihatannya bulan ini ada rapelan kenaikan pensiun ya? Kemaren aku sempat baca di Koran. Berarti uang sakuku bisa ditambah ya Yang!” Aku memecahkan kesunyian kami ketika menuju kantor pos. Karena aku lihat Eyang mulai ngantuk di becak. Ngantuknya Eyangdisebabkan semilirnya angin dan sepinya jalan yang kami lalui. Rindangnya pohon asem di sepanjang jalan yang kami lalui pun menambah nyamannya perjalanan ini, membuat kepala Eyang sesekali jatuh ke bahuku.

Eyang terbangun dan menjawab pertanyaanku dengan setengah masih mengantuk. Setelah aku menepuk pahanya dengan lembut. Dengan mata setengah melek Eyang menjawab pertanyaanku

“ Oalahhhh Nduk, kalau naik pun tak seberapa, kau tahu kan! Sebelum gaji atau pensiun pegawai naik, harga kebutuhan pokok sudah lebih dulu berlomba menaikkan harganya.”

“ Iya . Betul itu Eyang. Tapi uang Eyang tidak untuk beli kebutuhan pokok, hanya untuk aku dan Eyang gunakan untukbersenang senang nonton wayang atau dilipatgandakan dalam berjudi.Jadi kalau jatahku ditambah, kan tidak masalah toh Eyang?” Pintaku merayu.

“Aku yakin eyang tidak tega. Akan aku katakan bahwa aku butuh dana untuk audisi di Jakarta. Aku butuh dana untuk biaya les karena aku sebentar lagi kelas 3 dan akan segera menyelesaikan sekolahku. Aku ingin jadi artis terkenal dulu. Setelah itu aku akan meneruskan sekolahku dengan mengambil kuliah jurusan ekonomi, aku ingin jadi pengusaha yang sukses sekaligus jadi artis yang beken. Akan aku nikamati kekayaanku, kutunjukkan pada dunia. Inilah Diah Ayu Lestari yang dulu selalu diperlakukan tidak adil menjelma menjadi artis dan pengusaha yang sukses hahaha.” Tanpa sadar aku tertawa dan membuat Eyang bingung.

“ Ada apa Nduk? Koq jadi tertawa sendiri? Sudah mengharap ya kalau Eyang akan mengabulkan permintaanmu? Yo wes nanti Eyang hitung lagi uang Eyang atau Eyang ambilkan dari tabungan Eyang yang ada.” Jawaban Eyang Retno membuat hatiku berbunga bunga.

“ Punya duit, punya duit, ke Jakarta ke Jakarta, mengejar mimpi mengejar mimpi.” Hatiku bersenandung gembira.

Matur nuwun ya Eyang. Hmmm aku sayang Eyang. Aku doakan Eyang panjang umur dan kalau berjudi selalu menang.Bravo Eyang.!” Eyang yang mendengar doaku cuma manggut manggut.

Tak heran kalau aku sangat dekat dengan Eyang. Karena kedekatan itu, Eyang juga pernah mengajariku bermain kartu Ceki dan kartu Domino. Kedua jenis kartu itu lah yang digunakan Eyang untuk sarana berjudi. Eyang memang penjudi tangguh. Sejak muda dia sudah suka bermain kartu walau awalnya sembunyi sembunyi. Karena Eyang Kakung tidak suka kebiasaan buruk Eyang.

Tapi sejak Eyang Kakung meninggal, Eyang bebas. Tidak ada lagi yang melarang. Kalau hanya anak dan mantunya yang melarang tidak mempan dan tidak digubrisnya.

“ Apa hak mereka melarangku. Ini hidupku. Mosok melakukan kesenangan sendiri tidak boleh? Ini hiburanku.” Kalimat itu yang diucapkan Eyang kalau ada tetangga atau temannya mengingatkan bahwa hobi berjudinya itu tidak baik.

Lingkungan di daerah tempat Eyang tinggal memang perjudian tidak dilarang, justru dibudayakan. Setiap ada tetangga atau kerabat yang punya kerja. Punya kerja seperti, peringatan1000 hari orang meninggal, syukuran kelahiran anak, mulai sepasaran ( 5 hari sesuai weton), selapan (3 hari sesuai hari dan wetonnya), atau bisa juga pesta pernikahan. Entah sejak kapan penyakit ini jadi budaya di Jawa dan dibiarkan tumbuh subur dengan alasan agar acara ini membuat suasana tidak sepi.

Eyang dan kelompoknya menjadi tamu istimewa yang punya tempat khusus untuk berjudi. Makan dan minum dijamin oleh tuan rumah yang punya hajat. Eyang betah berjam jam duduk lesehan bersama teman temannya terpaku dan sibuk dengan kartu beserta taruhan uangnya. Yang namanya berjudi sebenarnya antara menang dan kalah itu lebih banyak kalahnya, Dan jelas agama melarang karena banyak mudhorotnya dari pada manfaatnya.

Tapi begitulah salah satu cara setan membelenggu hati orang orang yang belum mendapat hidayah. Walau Eyang mengaku beragama Islam, tapi baru tertulis di KTPnya saja. Dan sesekali menyebut Sang Pencipta dengan sebutan “Gusti Sang Pangeran”. Eyang mengakui ada yang menciptakannya tapi hanya sebatas itu yang Eyang tahu.

Menurutnya selama dia sudah berbuat baik dengan orang lain, tidak mencuri, tidak berbohong, teposaliro, tidak merugikan orang lain dan sedikit berbagi itu sudah cukup. Tidak perlu salat, puasa, baca Qur’an. Islam dijalani ala kadarnya seperti yang diajarkan nenek moyangnya.

Pengetahuan Eyang tentang Islam mungkin sebatas itu saja. Beda sedikit dengan diriku yang sejak kecil di sekolah sudah di ajarkan pendidikan agama Islam walau aku pun tidak menerapkan semuanya dalam kehidupanku. Aku tidak punya teladan di rumah. Dalam keluarga hampir semuanya tidak mengerjakan salat, puasa atau mentadaburiAl Qur’an. Yang lebih aneh lagi kami belum bisa membedakan antara yang halal dan yang haram.

Contoh seperti siang ini ketika kami mampir pasar Gede. Dengan percaya dirinya Eyang mengajakku masuk ke los daging yang menjual daging babi. Sebenarnya aku ingin muntah dan rasanya ingin menghindar. Tapi aku tak tega kalau membiarkan Eyang naik ke lantai dua dimana los daging babi berada.

Perasaan jijik langsung menyergapku. Aku harus mengatakan pada Eyang agar tidak mengkonsumsi daging babi. Kebiasaan Eyang mengkonsumsi bakmi godok yang bercampur daging babi atau kadang saren ( darah sapi atau ayam yang dikukus) sebagai lauk teman makan nasi. Pernah aku menerangkan pada Eyang bahwa makanan itu haram tapi apa jawab Eyang.

Wong makanan enak seperti ini koq malah dilarang. Sejak dulu keluarga kita sudah mengkonsumsinya Nduk.”

“ Tapi Eyang orang yang beragama Islam itu memakan daging babi dan darah itu haram. Aku sudah diberitahu guru Agamaku di sekolah.” Aku berusaha meyakinkan Eyang.

“Aku belum bisa ngelakoni Nduk. Entah lain kali kalau aku sudah bosan.” Eyang tetap ngeyel dengan penjelasanku.

Ini yang paling tidak aku sukai dari Eyang. Kalau masalah main kartu dan berjudi aku juga tahu bahwa itu haram. Walau guruku pernah menjelaskan dua hal judi dan minuman keras itu harus dijauhi karena dilarang Allah. Aku tidak pernah menyinggung masalah ini pada Eyang.

Hobi Eyang dalam bermain judi sangat menguntungkanku di saat aku kepepet tidak punya uang. Aku bisa mengambilnya tanpa permisi. Aku curiga sebenarnya Eyang mengetahui perbuatan burukku itu tapi Eyang tidak menegurku. Konon itu dikarenakan Ibuku ketika usianya sebaya denganku punya kebiasaan buruk yang sama denganku.

Eyang bagiku punya sifat seperti dua sisi mata uang. Banyak sifat Eyang yang aku suka. Dia Dewi penolong bagiku karena dia lah satu satunya orang yang aku sayangi di rumahku. Dia lah yang paling banyak mengerti tentang diriku dan sifat sifatku. Dia juga yang mengajariku menjadi gadis yang mandiri, punya tata karma dan harus menghormati orang yang lebih tua.

Di sisi lain aku kasihan pada Eyang. Di sisa hidupnya dihabiskan di meja judi. Malam malamnya semakin kelam nafsunya meraup uang dari permainan kartu Ceki dan domino. Sikapnya yang tidak perduli dengan nasehat anak, mantu dan cucunya membuat aku sedih. Kapan Eyang akan berhenti berjudi dan bisa mendekat dengan Allah. Sayang kalau nanti di akhir hidupnya Eyang masih belum mau berhenti berjudi.

Seharusnya Eyang bisa jadi pengayom kami, yang nasehatnya kami rindukan. Tutur katanya menyejukkan dan kehadirannya kami nantikan. Mengapa sosok seperti itu tidak ada pada Eyang. Tapi aku juga sadar bahwa Eyang bukan lah Eyang bisa dia sangat istimewa dengan kekurangan dan kelebihannya. Karena aku bisa memanfaatkannya disaat Ibuku tidak memperhatikannya dan juga sikap Eyang yang tidak mau diatur.

Berkat kemurahan hati Eyang yang mau memberiku uang untuk kegiatan audisiku di Jakarta, aku dapat kesempatan jadi artis walau hanya memerankan figuran dengan beberapascane. Kebetulan jadwal shootingnya tidak mengganggu jadwal belajarku, karena lokasinya tidak jauh dari kotaku.

Perlahan aku mulai merambah dunia artis kelas lokal. Tanpa sengaja di sebuah pesta salah satu teman artis, aku kembali bertemu dengan Sanjaya. Dia baru saja menyanyikan lagu “Feeling” yang dipopulerkan oleh Rod Steward. Padahal itu salah satu lagu favoritku. Tak heran kalau aku begitu menikmati lagu itu, pikiranku melayang membayangkan Mas Firman yang memainkan gitar dan aku bernyanyi dengan penuh perasaan. Rupanya Sanjaya sesekali memperhatikan ku ketika aku hanyut dalam lagu yang dinyanyikan. Segera dia menghampiriku dan mengulurkan tangannya.

“ Apa kabar Diah!” Lama ngga jumpa. Katanya sudah jadi artis terkenal ya?” Pertanyaannya sempat membuatku tersanjung.

“ Siapa juga yang bilang? Gossip itu. Doanya aja!. atau punya chanel produser, mungkin juga sutradara beken, yang bisa ngangkat aku jadi artis papan atas ?” Diah berondong Sanjaya dengan pertanyaandan ingin tahu respon dari Sanjaya.

“ Oh mimpi juga ya jadi artis ngetop? Sama dong dengan aku. Kenapa kita tidak berjuang bareng?’ Ajaknya penuh semangat

“ Jelas lah. Siapa yang ngga punya mimpi itu bohong. Kita harus berani mimpi untuk kemudian mewujudkannya.” Aku menimpali percakapan itu dan akhirnya semakin seru.

By the way, siapa yang mengantarmu pulang? Sudah hampir jam sebelas nih. Aku lihat dari tadi kau sendirian,” tanya Sanjaya penuh selidik.

Ahh gampang. Aku tadi bareng Fera, tapi tadi aku lihat dia lagi asyik sama Tony.” Jawab Diah ringan.

“ Aku antar pulang mau ya? Sanjaya menyuarakan niat baiknya.

“ Nanti ada yang marah ngga? Tuh fansmu dari tadi sudah pada melotot dan lirak lirik. Ngga terasa ya kalau punya fans luar biasa abanyaknya?” jawab Diah menolak halus tawaran Sanjaya.

“ Kita kan bisa menyelinap lewat belakang Diah.! Masa kurang akal sih.” Ujar Sanjaya untuk ambil jalan aman menghindari fansnya yang sudah menunggu. Dia berhasil meyakinka Diah..

Akhirnya Diah ngga bisa menolak ajakannya. Mereka menyelinap lewat belakang dan secepat kilat masuk ke dalam Honda Civic hitam. Mobil itu melaju ke arah jalan Slamet Riyadi. Ini kali pertama Diah naik mobil bersama pria yang belum lama dikenal, seorang penyanyi yang sedang naik daun di kotanya. Perawakannya Macho, kulitnya bersih, alisnya tebal dan tatapan matanya sangat tajam. Dia sempat memperhatiakn dengan leluasa ketika Sanjaya menyanyikan beberapa lagu Rock yang disambut dengan teriakan histeris dari fansnya.

Pikiran Diah jadi terganggu dengan ajakan Sanjaya. Suara Sanjaya yang belum familiar dengannya, membuat Diah kaget.

“ Tanya apa tadi?” Diah berusaha menenangkan hatinya.

“ Nongrong di Hik Pak Wir yang di Porwosari ya!. Aku kangen jadah bakar dan kopi jahenya.” Sanjaya mengulangi kalimatnya, karena Diah belum paham akan ajakannya.

Akhirnya Diah menerima ajakan itu walau dengan perasaan ragu dan kurang nyaman.

“Aku tidak sanggup menolaknya. Karena diam diam aku memang mengaguminya. Dia salah satu pria tajir yang ada di kotaku. Sudah ada dua album lagunya yang diproduksi dan laku keras. Dia jugamulai sibuk mempromosikan album barunya ke kota kota yang ada di pulau Jawa. Seandainya aku dekat dengannya, siapa tahu karier ku di dunia tarik suara atau acting bisa berjalan mulus.” Diah tersenyum sendiri ketika mendengar suara hatinya yang penuh harap.

“ Selagi dia ada di sini, aku bisa akrab dengannya. Siapa tahu dia juga bisa mewujudkan mimpiku jadi artis papan atas. Aku bisa katakan pada dunia, bahwa aku bisa sukses. Mungkin jalan ini lah yang akan membuka karierku di bidang perfilman. Sanjaya bisa jadi dewa penolongku. Dia suka atau tidak denganku, itu tidak masalah.” Otak Diah mulai kotor dengan angan angannya. Suara hati tu masih mengganggunya.

“ Diah aku boleh tanya ngga? Kamu sudah punya pacar?” Mata Sanjaya menatapku dengan penuh arti.

Diah tidak bisa segera menjawab pertanyaan itu. Hatinya bimbang. Apakah harus mengatakan yang sesungguhnya atau berbohong. Sebenarnya bayangan Firman masih mengikuti dirinya, sementara ambisi dan kesmpatan itu begitu menggoda. Diah juga ingin merapat erat memanfaatkan ketenaranSanjaya.

“ Memang itu penting ya buatmu? Aku balik bertanya

“ Kalau ngga mau jawab juga ngga apa apa Diah.” terdengar suara Sanjaya datar datar saja.

Minuman dan jadah bakar yang dipesan sudah datang. Diah melirik di sekeliling warung Hik itu. Diamati gerak gerik sesama penikmat Hik di malam itu. Diah dengan jeli mengetahui ada sebagian orang yang sedang jajan di situ mengenali Sanjaya. Dan ini membuat mereka jadi tidak nyaman.

“ Ini resiko jalan sama penyanyi” bisik Diah di telinga Sanjaya.

Sanjaya yang tidak menyangka kalau Diah mendekat dan entah sengaja atau tidak bibir Diah mengenai telinga Sanjaya. Sentuhan yang begitu lembut membuat hati Sanjaya merasakan sesuatau. Seakan ada aliran aneh yang merasuk ke seluruh tubuhnya.

“San, kangen wedangan disini toh?” Suara pria muda tiba tiba mengganggu perasaan Sanjaya yang masih mengingat dan membayangkan sentuhan bibir Diah di telinganya.

Sanjaya mengerutkan dahinya dan mencoba mengingat siapa orang yang barusan menegurnya. Sepertinya suara itu begitu akrab di telinganya.

“ Hi Rio, kemana aja? Sejak lulus SMA kau menghilang bak ditelan bumi, dengar dengar sekolah di Jerman ya? Akhirnya Sanjaya ingat, dia sahabatnya semasa SMA.

“ Tahu dari mana kalau aku sekolah di Jerman? Aku dengar juga kau sekarang sudah jadi penyanyi sukses.” Rio melanjutkan percakapannya.

“ Mirna yang ngasih tau. Cewek yang pernah tergila gila denganmu…hahhaha… ingat ngga?”Sanjaya tertawa lepas karena teringat peristiwa ketika dia memergoki Rio memeluk Mirna di dekat toilet sekolah. Di lain hari perbuatan yang sama diulangnya lagi dan tertanggap basah oleh guru piket. Mereka terpaksa di bawa ke ruang BP dan diintrogasi. Mereka akhirnya tertawa terkekeh kekeh mengingat peristiwa 3 tahun yang lalu.

Diah yang merasa tidak diperhatikan mulai salah tingkah.

“Mereka asyik ngobrol aku digambar mati atau dijadikan obat nyamuk. Tapi aku juga tidak bisa memberhentikan obrolan mereka.Aduh aku mau diantar pulang jam berapa ya?” Diah jadi gelisah karena jam tangannya sudah menunjukkan jam 12 malam lebih.

“Aku tidak mau kemalaman jangan sampai Eyang lebih dulu pulang dariku. Aku lupa menata posisi gulingku yang biasa jadi tubuhku yang aku tutupidengan selimutku. Eyang biasanya mengintip lewat jendela tentang keberadaanku. Atau kadang bedehem dehem dengan suaranya yang khas. Kalau Eyang tahu aku pulang malam, dia pasti marah.

“Syukur lah Sanjaya segera sadar dan melihat bahasa tubuhku yang salah tingkah. Aku sudah tak tahan berlama lama disini.” Diah bernafas lega melihat Sanjaya mengajaknya pulang. Lalu berdiri dan menghampiriPak Wir pemilik Hik itu.

“Simpan uangmu San! Biar aku yang bayar. Salam ya buat Mirna..hahaha.” Suara Rio masih sama seperti dulu renyah dan lepas.

“ Siap. Don’t worry bro! Thanks ya” Sanjaya pergi sambil menggandeng tangan Diah. Udara malam semakin dingin padahal Diah memakai baju “You Can See” atas kurang bawah kurang. Saat itu model baju mini sedang trendy. Sanjaya memberikan jaket kulitnya kepada Diah

“ Pakai jaketku kalau kau kedinginan!” Sanjaya melepas jaketnya dan memberikannya pada Diah.

Diah tidak menolak karena tubuhnya merasakan dinginnya malam cukup membuat merinding tubuhnya. Samar samar aroma parfum Sanjaya tercium di hidungnya. Dia hafal aroma “ Dakkar” parfum yang biasa dipakai Firman. Mengapa Parfum kedua pria yang aku kenal ini sama. Parfumnya yang pasaran atau memang selera mereka sama.

Bersambung....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun