Ada cerita yang membuat aku merinding kalau mengingatnya, pada  suatu dini hari saat  hendak memulai memasak  aku melihat 5 ekor  kalajengking , hewan beracun yang mempunya 2 capit  dengan ukuran cukup besar keluar dari celah-celah dinding yang terbuat dari kayu.  Sontak aku menjerit dan suami mengambil parang mengejarnya. Setelah tak begitu panik aku mengambil Baygon  dan menyemprotkan ke area dinding , takut ada binatang lain yang muncul.
Bukan hanya kalajengking  saja pengganggu aku saat masak bekal  untuk suami, karena di bulan-bulan tertentu ada serbuan  hewan kaki seribu kecil-kecil yang jumlahnya ratusan atau ribuan menyerang semua sudut rumah  termasuk dapar dan kamar tidur. Jadi aku harus banyak  menebar kapur semut  berlapis-lapis agar si kaki seribu tidak masuk mengganggu, walaupun pasti saja ada dua-tiga yang lolos dari pagar lapir baja eh lapis kapur sirih.
Bertahun-tahun masa itu sudah lewat, kami sudah kembali tinggal di Jawa Tengah, pekerjaan suami  masih hampir sama namun kondisi yang berbeda. Kalau dulu suami kerja di pertambangan menjadi  operator alat berat sekarang suami menjadi sopir  truk yang harus melakukan perjalanan ke luar kota dengan jarak yang lumayan jauh.
Namun begitu kebiasaan membawa bekal makan dan makanan ringan tetap masih berlanjut. Kalau dulu di pertambangan tak ada penjual berbeda dengan sekarang yang sepanjang jalan berjejer warung makan, restoran dan cafe. Demi keamanan, kebersihan dan jaga-jaga misalnya, susah ketemu warung yang cocok dan menyediakan  area  parkir untuk truk besar , jadi bagaimanapun membawa bekal sendiri adalah hal paling membuat suamiku lebih nyaman. Mungkin tidak takut  sewaktu-waktu lapar.
Begitulah, "dari rasa turun ke hati". Walaupun istrinya bukan jago masak tetap saja masakannya membuat nyaman di hati.
Artikel ini juga tayang di blog pribadi srisubekti.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H