Lumbung adalah bangunan untuk menyimpan makanan sebagai konsep ketahanan pangan pada masyarakat Jawa pada masa lalu. Demikian juga yang dimaksud menamai Cafe  &Resto yang diberi  nama Kopi Lumbung Mataram. Diharapkan cafe ini bisa menjadi ketahan pangan masyarakat sekitar yang sempat agak terganggu dengan adanya pandemi yang melanda dunia tahun 2020-2022.
Beberapa warga kehilangan pekerjaan karena diberlakukannya lockdown pada waktu itu, karena keadaan semacam itu mengetuk hati managemen yang merupakan keluarga besar , berharap tanah dan bangunan warisan leluhur mereka yang menjadi  cikal bakal Hamengku Buana 1, bisa diperdayakan menjadi lumbung pangan bagi masyarakat sekitar. Sehingga pada sekitar bulan Desember 2020  Cafe  & Resto Lumbung Mataram ini dibuka di wilayah seluas 1 hektar di Desa Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarya, Daerah Istimewa Yogyakarta 55173  yang buka setiap hari dari pukul 07.00 - 22.00 WIB.
Dengan merekrut warga sekitar yang sempat kehilangan pekerjaan, mereka bersama-sama menghidupkan cafe ini, yang diharapkan bisa mencukupi nafkah mereka. Sekitar 20 orang karyawan yang kebanyakan warga sekitar mengangkat konsep cafe & resto dengan rasa masa lalu, yang penuh dengan ornamen-ornamen kejadulan jadi serasa kita pulang ke rumah simbah bagi pengunjungnya.
Dari awal menuju arah ke Kopi Lumbung Mataram, saya sudah merasakan nuansa masa lalu, apalagi letak cafe ini di tengah perkampungan jauh dari jalan raya yang diibaratkan sebagai kemodernan.
Sebuah pohon asam tua menjulang tepat di jalan mobil masuk menambah kesan mistis, dan di sebelah kanan ada makam keluarga yang tertutup dengan dinding kayu dan pohon Nogosari yang sudah berumur ratusan tahun yang lalu, bersebelahan dengan itu ada  kandang kerbau yang sudah difungsikan sebagai tempat untuk ngopi dengan beberapa kursi jadul yang menemani. Sedangkan di pojok parkiran terdapat rumah magersari, atau rumah para abdi dalem dari buyut  dari Kopi Lumbung Mataram, yang masih dipersilakan menempati lahan Lumbung Mataram secara gratis. Ada juga tempat untuk lomba burung yang biasa ramai pada hari-hari tertentu ramai digunakan untuk lomba kicau burung. Berjalan ke arah resto taman-taman dengan lampu temaram menghiasi membuat angin seakan bercerita tentang  kejayaan masa lalu.
Sebuah koridor tua memisahkan bagian taman dan ruang resto untuk menikmati hidangan, sederet alat gamelan yang biasanya ditabuh saat Jum'at, Sabtu, dan minggu malam untuk menemati tamu menikmati hidangan. Pekerja dan seniman dari warga sekitar berkumpul di sini untuk sama-sama mencari nafkah dan mempertahankan pangan yang terganggu karena pandemi.
Kami berdelapan bersama Komunitas Click Kompasiana yang berasal dari berbagai daerah, seperti  Jakarta, Bekasi, Tanggeran, Semarang, Temanggung dan Kudus memilih ruang Pendopo yang letaknya agak tinggi untuk  bersama-sama menikmati hidangan di Kopi Lumbung Padi sambil mendengarkan Mbak Ita  bercerita, tentang kakek buyutnya, tentang konsep Kopi Lumbung Mataram dan tentang banyak hal yang membuat suasana akrab dan kekeluargaan. Sambil disuguhi minuman pilihan masing-masing seperti minuman rempah , minuman teh dengan jahe dan serai, maupun wedang uwuh, tak lupa kopi tubruk  hitam panas yang mempunyai cita rasa khas Kopi Lumbung Mataram. Aneka gorengan dihidangkan seperti pisang goreng tepung, ketela pohong goreng, maupun tempe mendoan sebagai teman wedangan kali ini.
Yang lebih berkesan pihak managemen menceriterakan bahwa bahan masakan yang diolah di Cafe Lumbung Mataran sebagian adalah hasil tanaman warga sekitar sendiri dengan memanfaatkan pekarangan rumah mereka.
Untuk makanan kita bisa memilih aneka menu Jawa, seperti aneka bakmi, nasi goreng, magelangan, rica-rica, Nasi dengan aneka pilihan sayur lodeh, brongkos, oseng-oseng daun pepaya, telur balado, pindang balado, mangut, aneka pepes, soto ayam kampung yang semua disajikan dalam bentuk prasmanan seperti masakan simbah kita sendiri.
Ada empat KK yang menempati bangunan-bangunan kuno sebagai tempat tinggal sekaligus untuk mengelola Cafe Lumbung Mataram ini, usia bagunannya pun ada sejak 170 tahun yang lalu, yang sebagian masih dipertahankan keasliannya, dan sebagaian lagi sudah direnovasi. Berbagai ornamen , alat musik kuno, lumpang ( alat menumbuk padi ) dan gentong-gentong kuno menjadi hiasan yang memberi kesan jadul.
Setelah puas kita menikmati hidangan sambil bercerita tentang indahnya masa lalu, kami pun pulang dengan diantar salah seorang pengelola Kopi Lumbung Mataram sampai ke tempat parkir mobil. Taman-taman yang saat kita masuk masih kelihatan asri sekarang menjadi syahdu dengan lampu-lampu taman yang temaram.
Ini benar-benar Yogyakarta, esotik dan penuh romantisme, bukan gemerlap kota modern yang telah menjamur di mana-mana.
Salam hangat
Sri Subekti Astadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H