Jarum jam menunjukkan tepat pukul 01.00 dini hari, Ratih belum bisa memejamkan matanya. Walau jiwa dan raganya sangat letih. Sampai dini hari begini suaminya belum pulang juga.
Beberapa kali Ratih memandang handphone di sebelahnya. Tak ada tanda telpon ataupun Whatsapp masuk dari suaminya. Ratih mencoba telpon tidak diangkat. Whatsapp yang dikirim hanya centang satu tanda belum dibaca Hendra .
Makan malam yang telah disiapkan di atas meja telah dingin, sedingin hatinya yang pasi. Ratih tak tahu kemana saja suaminya pergi, dan untuk apa. Ratih juga tak pernah menanyakan perihal itu pada suaminya.
Ratih pernah menanyakan sesuatu perihal urusan suaminya, namun bukan mendapat jawaban yang melegakan justru  bentakan dan makian yang ia dapatkan. Membuat Ratih sangat hati-hati berbicara pada suaminya.
Pukul dua dini hari suara mobil suaminya  terdengar memasuki halaman. Ratih bergegas keluar untuk membuka pintu pagar .
Begitu masuk rumah, Hendra tidak menyapanya, hanya diam berlalu begitu saja.  Membersihkan diri  dan memakai baju bersih yang telah disiapkan Ratih. Setelah itu langsung tidur, menenggelamkan diri di dalam selimut tebalnya.
 Setelah menegak 10 butir obat tidur, Ratih merebahkan diri di samping suaminya, dengan air mata tiada henti mengalir.  Ratih  ingin tidur untuk selamanya,  melupakan derita cintanya.  Sementara Hendra telah pulas dalam dengkurnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H