Mengenang Semarang adalah mengenang kegelisahan
yang terus berlajut pada separuh hidup yang terus meredup
hingga tak mampu bedakan mana Bulu mana Kedung Batu
ketika hantu-hantu berubah menjadi tuhan yang sok tahu
tertancap pada dinding-dinding Lawang Sewu
setelah bosan mengelilingi Johar hingga Gajah Mungkur
dan aku terus termanggu, serupa itukah wajahku dulu
Mengenang Semarang adalah mengenang kepintaran
yang tak pernah hinggap pada sel-sel otakku
hingga aku harus tertunduk lesu pada sebuah rumah di Kaliwiru
di gang buntu yang lebarnya hanya sebuku bambu
kebodohan menggelinding dari pintu ke pintu
merampas nikmat dalam sekejap
kenapa rasa malu tidak singgah dari dulu
Mengenang Semarang adalah mengenang cinta
yang tak pernah sampai pada relung kalbu
hingga berlembar-lembar kisah duka mengisi hidupku
mengais suka sepanjang Rejomulyo sampai Kedungmundu tak juga ketemu
karena kebencian menyebar bagai debu yang tersapu
melekat erat pada wajahmu, pada tubuhmu pada pandangan matamu
harus menyesalkah aku ?
Mengenang Semarang adalah mengenang gerlap Simpanglima
yang terus membuat sepi semakin semarak
hingga aku terhempas bagai rumput-rumput peliharaan
pasrah diijak  bahkan dipotong semaumu
oleh para sahabatku yang berdiri di sepanjang Srondol hingga Karang Ayu
menyeret luka untuk dinikmati bersama
sekeji itukah resahku
Mengenang Semarang adalah mengenang kamu
yang tak pernah menjadi kami sampai kini dan nanti
hingga Pleburan berubah menjadi kampung mati
menelan kenangan beribu-ribu mahasiswi
yang kini sudah telah reinkarnasi bagai priyayi
mengubur dan melebur impian
setragis itukah mimpi
Kudus, 27 September 2019
Salam hangat selalu
Dinda Pertiwi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H