" Kring...kring...kring.." suara telpon itu seolah-olah menjerit-jerit, sebelum akhirnya melemah karena lama tidak ada yang mengangkat.
Aku membanyangkan di seberang sana pasti ibu, bercampur aduk perasaanya. Antara kekhawatiran, marah dan rindu pada anak semata wayangnya, Aku Dewi.
Entah ini sudah kali keberapa semenjak Ramadan tiba, ibu di ujung telpon selalu mengingatkan, agar aku segera  "Pulang."
" Pulang ya, Nduk.." suara ibu tampak lemah, namun ibu tak pernah pasrah membujukku untuk pulang.
"Ibu kangen, kowe nduk, balik o...ibu tidak mengharap apapun pada kepulanganmu. Pulang lah, Nduk.." aku hanya mendengarkan kata-kata ibu itu tanpa berani bersuara apapun, air mata semakin menggenang siap membasahi pipiku. Tapi aku tak ingin ada melihat aku sedih, aku segera menghapusnya.
Mungkin ini sudah tahun ketiga  aku tak pernah lagi pulang berlebaran. Apa kau pikir aku tidak rindu pada ibu, pada kampung halaman, pada opor ayam buat ibu yang lezat. Tidak. Aku kangen sekali, ada sakit yang menusuk-nusuk dadaku karena tak pernah sesampaian. Tapi aku merasa kotor. Iya sangat kotor buat memeluk ibu, manusia terbersih yang pernah aku lihat.
Empat tahun yang lalu semenjak Doni menghkianatiku, setelah dia puas mempermainkanku dengan segenap cintanya. Hingga aku pasrah memberikan apapun yang dia minta. Semua...iya..semua. Uang, pekerjaanku, bahkan tubuh dan kehormatanku.
Setelah itu dia menghilang bagai ditelan bumi. Aku sudah mencarinya kesana-kemari, ke tempatnya bekerja, ke tempat biasa dia nongkrong ke teman-temannya. Tak ada yang tahu kemana dia menghilang. Â Hingga hari berganti, bulan berlalu. Aku hidup sendiri di belantara kota. Tanpa penghasilan , tanpa uang, bahkan untuk makan pun aku hidup dari belas kasihan teman-teman sekost, dan hutang pada warung sebelah.
Hari telah berganti, minggu telah mengakhiri, aku belum juga menemukanmu. Lelaki yang telah berjanji akan menikahiku, yang pergi dengan segala yang aku punya.
Aku masih ingat, ketika hendak lebaran tiga tahun yang lalu, terpaksa aku berbohong pada ibu, kala ibu mulai curiga. Dan memintaku untuk pulang.
" Nanti setelah lebaran Dewi baru bisa cuti, Bu " kata pertamaku berbohong pada ibu. Karena sebelumnya Dewi tak pernah berbohong pada ibu yang sangat aku sayangi. Walau sepahit apapun Dewi pasti bercerita pada ibu.
" Pulang sama Doni, sekalian hubungan kalian diresmikan, ya" kata ibu yang sudah beberapa kali bertemu Doni. Karena beberapa kali, Doni mengantarkanku pulang. Namun siapa sangka, Doni terkutuk keparat itu lelaki paling bangsat di dunia ini.
Aku hampir saja jadi gelandangan, diusir dari rumah kost. Karena sudah 3 bulan tak bisa membayar uang kost. Pekerjaan juga belum dapat.
Hingga aku bertemu tante Mirya, yang datang padaku bak Dewi penolong. Diraihnya tanganku, diusapnya punggungku sehingga semua air mataku tumpah ruah di pelukannya. Â Dia yang membayar semua hutang-hutangku, termasuk hutang kepada bapak kost, Â dan hutang makanku di warung sebelah yang sudah menumpuk.
Tante Mirya mengajakku pindah ke rumahnya. Aku tak bisa menolak menerima segala kebaikkannya, walau aku punya firasat pasti ada sesuatu yang diinginkan Tante Mirya dariku.
Sejak tinggal di rumah tante Mirya yang mewah, penampilanku sudah berubah. Tante Mirya telah membelikanku baju-baju yang mahal dan hampir tiap hari aku menjalani perawatan tubuh di salon atau entah apa namanya. Karena telah merawat dari ujung kaki sampai ujung kepalaku. Seinci pun tanpa terlewat tubuhku bagai diamplas, menjadi putih mulus dan segar kembali.
Aku menjadi Dewi yang sangat cantik, berpenampilan masakini. Tante Mirya sangat telaten mengajariku berdandan sendiri selain ke salon.
Hingga suatu malam, sebulan setelah aku tinggal di sana. Malam itu Tante Mirya masuk ke kamarku, awalnya kami hanya ngobrol. Lama-lama tante Mirya mengajakku melakukan hal tak pernah aku lakukan sama sekali. Tante Mirya minta aku memuasi hasratnya. Mulanya aku jijik namun , tante Mirya tak pernah menyerah sehingga aku total menerima segala perilakunya.
Bukan itu saja, seminggu kemudian seorang laki-laki paruh baya tiba-tiba sudah ada di kamar hotel tempat aku dan tante Mirya menginap. Aku harus melayani  laki-laki itu. Yang kasar dan brutal merenggut tubuhku. Aku harus membayar segala kebaikan tante Mirya padaku, dengan hal yang amat pedih dan kelam dalam hidupku.
Sejak saat itu hidupku sudah dikuasai Tante Mirya. Aku berpindah dari memuaskan laki-laki satu ke laki-laki lainnya. Juga masih harus melayani kepuasan Tante Mirya yang sangat hebat.
Hidupku bergelimang dosa. Aku tak bisa lagi keluar dari lingkaran setan ini. Hingga berkali-kali aku harus berbohong pada ibu, yang tak henti menyuruhku pulang saat telpon. Selama itu pula aku tak pernah berani menjawab kata-kata ibu. Â Hanya kata 'iya' dan 'tidak' yang aku ucapkan bila ibu menelpon.
Beberapa kali aku mengirim uang dan barang-barang kesukaan ibu. Aku berharap ibu bisa terhibur sebagai pengganti kedatanganku di sisinya. Namun sayang setiap itu pula ibu mengatakan :
" Sudah Nduk, ora usah kirim apa-apa. Aku hanya ingin kamu pulang saja, semua barang dikirimanmu tak ada yang aku pakai. Kecuali kamu mau pulang, temani ibu yang sudah tua ini." Kata-kata ibu sangat menusuk perasaanku. Apakah ibu masih mau menerimaku bila tahu aku sangat kotor. Aku bukan lagi Dewi yang dulu, Ibu.
" Maafkan, Dewi...entah sampai kapan Dewi harus berbohong pada ibu. Karena Dewi juga kangen sekali pada ibu, Dewi ingin ibu mengajariku shalat kembali, hal yang telah lama Dewi tinggalkan, sehingga hidup Dewi semakin terpuruk begini."
Aku selalu berharap bisa melupakan kata ' pulang', namun bayangan ibu yang sudah tua dan hidup sendiri selalu menghantuiku.
"Ibu...Dewi, kangen sekali. Aku ingin pulang, Bu..."Â
Kudus, 1 Juni 2019
Salam hangat,
Dinda Pertiwi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H