Pemilu tinggal menghitung hari, yaitu tanggal 17 April 2019. Pada hari itu ditetapkan pula sebagai hari libur nasional. Artinya semua pegawai (yang formal tentunya ) dan siswa boleh menikmati liburan.Â
Bahkan saya menggambarkan bahwa pada hari itu terasa lebih dari hari raya keagamaan. Pesta Demokrasi dimulai. Layaknya sebuah perlehatan pesta, pasti butuh banyak biaya untuk bersuka-cita memilih calon pemimpin baru.
Masyarakat dengan riang gembira berbondong-bondong datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya. Dan yang membuat mereka bersemangat datang, karena malam sebelumnya, atau hari sebelumnya mereka sudah dapat 'sangu' dari caleg, atau beberapa caleg . Baik yang terus terang maupun terang-terangan bagi-bagi amplop, sembako atau lainnya.
"Kang, besok nyoblos ya," kelakar Parmin di kedai kopi pinggir jalan kampung.
"Iya lah, wis entuk sangu kok," jawab Parto datar.
"Emang kalau nggak dapat sangu gak nyoblos, Kang !" kejar Parmin pada Parto.
"Kalau nggak dapat sangu ya kerja, lah ngopo nyoblos"
"Eman suarane to, Kang. Kalau nggak nyoblos."
"Makanya, suaraku sudah kujual, biar gak mubadzir," jawab Parto kalem.
"Laa kapan lagi, menikmati duit orang-orang kaya, kalau dia nggak nyaleg nggak bakalan mereka ingat kita kan... "
Begitu anggapan rakyat kecil, yang sebagian masih kurang mengerti arti pentingnya suara yang iya punya. Baginya uang yang tak seberapa itu lebih penting, apalagi harus libur bekerja, yang berarti tidak memperoleh uang hasil kerja pada hari itu.
Bagaimana kita bisa menyangkal, politik uang sudah  leluasa di negeri kita. Siapa yang salah, caleg ataukah rakyat penerima uang. Sejak kapan politik uang berlaku di negeri ini.
Jangankan pemilihan legistatif, yang cakupannya lebih luas, pemilihan lurah saja bisa menghabiskan sawah berhektar-hektar, dan sapi sekandang !.
Transaksi pemilu, pilpres, pileg maupun pilkada sulit dihindari pada kalangan masyarakat bawah, yang masih kurang kesadaran politik dan juga merasa kurang kesejahteraan hidupnya.
Bagi rakyat kecil, seneng-seneng saja mereka mendapatkan uang tanpa harus lelah bekerja, mereka tidak berpikir panjang dengan kinerja calon yg dipilihnya. Yang belum tentu akan memekirkan kesejahteraan hidupnya bila sudah terpilih nanti.
Yang hebatnya lagi, misalnya di desa C  masyarakatnya sudah mendapat amplop dari caleg 1 sebesar 100. 000 rupiah, ada caleg  2 ngasih 30.000, dan caleg  3 yang memberinya lebih besar lagi.  Seneng dong, dapet duit banyak!  Bagaimana uang itu di dapat dan upaya bila telah  terpilih untuk mengembalikan modal mereka abaikan.
Demikian juga pada  pemilihan legistatif kali ini, akan kah seperti pemilu-pilkada tahun-tahun kemarin. Semakin dekat hari semakin membuat dag-dig--dug saja. Karena biasanya acara bagi-bagi amplop ternjadi saat --saat waktu sudah mepet.
Bagi rakyat kecil terkadang tidak peduli dan tidak fanatik  pada salah satu tokoh caleg atau capres, mereka akan mengenal dan mengingat bila si calon tersebut memberinya uang atau apalah yang mereka butuhkan.Â
Hal ini terkadang dimanfaatkan oleh para caleg capres untuk merebut dan membeli suara mereka dengan iming-iming uang bagi mereka iming-iming program adalah sesuatu yang absud. Yang penting hari ini bisa makan dan besok bisa beli beras. Itu sudah cukup tidak punya impian yang terlalu tinggi terhadap calon yang dipilihnya. Tidak peduli dari mana caleg tersebut bisa bagi-bagi uang.
Buat mereka yang sudah pinter sih, kalau ada yang ngasih terima saja, tapi tunggu dulu...maaf belum tentu  memilihmu. Jadi salah siapa politik uang pada pesta demokrasi itu ? Itulah perlunya pendidikan politik buat semua kalangan, baik caleg maupun calon pemilih itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H