Sudah hampir beberapa tahun ini, sejak  pemilu 2014 saya mengikuti kegiatan sebuah partai dan juga kegiatan bebera orang legistatif, yang sekarang mencalonkan diri untuk bisa duduk di kursi Senayan lagi. Selain itu saya juga mengikuti perjalan seorang caleg yang tahun kemarin gagal melenggang di kursi dewan, namun sekarang bertaruh lagi untuk mencapai kursi dewan yang lebih tinggi.
Sebagai seorang simpatisan partai, saya sering diundang untuk mengikuti kegiatan partai maupun  kegiatan caleg yang tergabung dalam partai yang saya ikuti.  Sebelumnya saya mohon maaf tak bisa menyebutkan partai yang saya ikuti itu.
Seorang caleg A yang tahun 2014 sudah berhasil melenggang ke senayan, dan tahun ini juga sedang bertaruh kembali untuk mempertahankan kedudukannya.  Selama beberapa tahun  dalam masa jabatannya, beliau sering berkunjung ke daerah konstituen atau dapilnya. Paling tidak setahun sekali saat reses dan  terkadang bersamaan atau mendampingi  sebuah lembaga pemerintah  yang sedang sosialisasi program , dan  kebetulan  berada di dapil caleg tersebut.  Caleg A rupanya juga punya jatah untuk mengundang konstituennya,  yang jumlahnya mungkin lebih dari separo yang hadir  untuk mengikuti acara lembaga pemerintah  tersebut.  Selain elemen-elemen masyarakat lainnya, tentunya.
Tahu sendiri kan, bagaimana loyalnya (menurut saya) lembaga-lembaga pemerintah kalau sedang sosialisasi program. Selain tersedia makanan besar dan kecil , masih ada hiburan dan  mendapat amplop juga. Bahakan menurutku, seperti sebuah pemborosan anggaran.  Saya kurang tahu apakah amplop yang dibagikan pada undangan yang hadir itu, dari lembaga tersebut, ataukah dari caleg yang numpang meperkenalkan diri tersebut. ( Walau disitu caleg tidak terus terang mengatakan : pilih saya).
Namun dengan begitu, seorang caleg pentahana tidak usah- susah sudah mengumpulkan orang lagi buat, sosialisasi dirinya sendiri, cukup memperkenalkan diri siapa dia, dari partai apa, di DPR duduk sebagai komisi apa, dan tinggal bilang saja nanti akan mencalonkan diri lagi. Orang yang datang sudah tahu kok maksudnya apa. Saya tak mengerti apakah itu termasuk katagori kampaye atau bukan.
Bandingkan dengan caleg, yang baru pertama melewati ranah pertarungan memperebutkan kursi dewan. Caleg tersebut harus mandiri, membiayai segala kegiatannya sendiri.Â
Bahkan sama-sama mengumpulkan calon konstituen dan memberi amplop, belum tentu semua undangan mau hadir, kalau tidak jelas undangannya. Kalau pun datang, banyak juga yang mau karena amplopnya saja. Sedikit yang karena loyalitas, walau itu saudara ataupun tetangga sendiri. Â Apalagi di jaman seperti ini, kalangan masyarakat sudah terlanjur, mencap berani nyaleg, berani keluar duit dong...!
Jadi, gimana mau menghilangkan politik uang. Bila antara caleg dan konstituen sama-sama menikmati. Bahkan dalam suatu pertemuan dengan seorang caleg, ada perwakilan ranting yang terus terang menanyakan "Nanti, ada duitnya nggak, buat dibagi-bagi, karena saya merasa malu, ngajak-ngajak orang tapi tak ada apa-apanya". Naah..loo
Padahal, seorang caleg yang sudah mengeluarkan modal besar, nanti setelah duduk di kursi dewan akan berpikir untuk mengembalikan modal dulu. Daripada memikirkan kesejahteraan masyarakat pemilihnya.
Itulah  sebabnya, mengapa sering kali kita melihat wajah-wajah lama, tetap nonggol pada saat acara pelantikan anggota dewan di Senayan, maupun di DPRD .
Demikian pandangan saya, sebagai masyarakat awam, yang tak begitu mengerti soal politik, dan seluk beluknya. Serta apa yang terjadi di gedung-gedung dewan yang megah dan terkesan sakral itu.
Apalagi saat ini perhatian para nitizen banyak tercurah pada kadidat capres daripada caleg, apakah ini membuat para caleg merasa lebih aman melenggang, tanpa banyak sorotan disana-sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H