Memahami suatu daerah bisa kita dapatkan dari kita memahami karya-karya anak bangsa yang ada dalam daerah tersebut. Sebagai ungkapan akan kecintaan terhadap daerahnya, para penyair kerap kali menuangkan sesuatu yang ada dalam daerah tersebut melalui karya-karyanya. Seperti yang di lakukan para penyair Kudus yang telah berkolaborasi dalam pembuatan sebuah buku antologi puisi yang berjudul " bermula dari Al Quds".
Geliat kegiatan Kesusasteraan di Kudus, memang semarak akhir-akhir ini. Banyaknya komunitas-komunitas Sastra dan Seni yang di dukung oleh pemerintah daerah  dan juga perusahaan-perusahaan di Kudus terutama dari Djarum Foundation membuat anak muda optimis untuk berkegiatan di kota Kudus.
Sebagai wujud kecintaan terhadap kota tercinta, agar tidak hanya menjadi cerita saja, para penyair Kudus, mengabadikan 'sesuat' yang ada di Kudus,dalam bentuk puisi dan secara bersama-sama . Memotret Kudus lewat puisi, tak hanya mennjadikan Kudus hanya sebagai background saja , namun menjadikan Kudus sebagai sumber gagasan yang hadir sebagai roh dalam sebuah puisi.
Para penyair yang tergabung dalam antologi puisi " Bermula dari Al Quds" harus memahami betul, dengan riset, membaca literature dan juga mengenal objek langsung apa yang hendak dituangkan dalam puisinya.
Sayang sekali, karena kebiasaan penulis (saya) dalam mengulur-ngulur waktu, hingga tak terasa batas pengumpulan puisi telah usai, dan peluncuran pertama di Perpustakaan Daerah Kudus pun berlalu, tanpa puisi-puisi saya ikut serta, sayangnya...
Setiap penyair dalam antologi " Bermula dari Al Quds" ini kebagian untuk mengirimkan 10 puisinya tentang Kudus. Dan disunting oleh dua penyair Kudus yaitu Mukti Sutarman Espe dan Jimat Kalimasadha. Serta Kata Pengantar oleh Mohammad Kanzunnudin yang merupakan dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Ketua Study Pusat Kebudayaan Universitas Muria Kudus.
Dalam kata pengantarnya, Mohammad Kanzunnudin mengungkapkan bahwa Puisi " Bermula dari Al Quds " Â mengangkat awal historis kota Kudus, perjuangan, dan prestasi putra daerah, dan tekad para tokoh serta masyarakat yang menyatu untuk membangun Kudus menjadi kota yang damai dan dicintai. Dengan tujuan agar kota Kudus dapat membiaskan aroma kesejukan dan kenyamanan untuk disinggahi.
Pengangkatan  dan pengungkapan fenomena lingkungan ke dalam puisi merupakan tanggung jawab penyair, terhadap eksistensi lingkungannya. Sebagaimana diungkapkan di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung , oleh karena itu sudah semestinya bara penyair yang tinggal di kota Kudus, juga ikut mendarmabaktikan karya-karya mereka buat kemajuan dan kemaslahatan bersama di Kudus.
Pengangkaan nilai-nilai budaya dan nilai daerah dalam antologi Puisi "Bermula dari Al Quds".
Fenomena pertentangan Kudus Kulon dengan Kudus Wetan dengan Kaligelis sebagai pembatasnya juga diungkapkan oleh Mukti Sutarman Espe dalam puisinya ' Kudus Kulon-Kudus Wetan" .Â
Dahalu kala fenomena pertentangan terasa kental bagai ada tembok pemisah. Kawasan Kudus Kulon disebut sebagai daerah santri, dengan ciri khas pakaian, rumah dan mata pencaharian mereka, sangat berbeda dengan kawasan Kudus Wetan yang terletak di sebelah timur Kaligelis disebut sebagai kaum abangan, dengan ciri khas pakaian, dan mata pencahariannya pula.Â
Namun fenomena tersebut sekarang sudah melunak, tak hanya ada kulon dan wetan, namun ada juga lor dan kidul   Perbedaan itu tinggal kenangan, karena yang ada kebersamaan dalam membangun Kudus yang sejahtera.
Tempat-tempat bersejarah di Kudus, juga diangkat dalam beberapa puisi di antologi " Bermula dari Al Quds" ini. Seperti dalam pusii " Patiayam" oleh Yit Prayitno, " Malam di Puncak Rahtawu" oleh Jumari HS, " Rahtawu" oleh Bin Subiyanto M, " Merindu Rahtawu" oleh Gilang Matahari Esa, "Rahtawu" oleh Darmanto Nugroho.
Rejenu yang merupakan tempat wisata alam dengan 3 mata air yang berbeda-beda rasanya, yaitu : manis, asam dan tawar dan fenomena alamnya yang indah menjadi inspirasi tiga penyair : yaitu  "Rejenu" oleh Bagus Dwi Hananto, " Rejenu" oleh Amir Yahyapati ABY,  dan Pipiek Isfianti dalam puisinya " Air Tiga Rasa"
Makam Sunan Kudus, dan Makam Sunan Muria masih menjadi inspirasi terbanyak dari para penyair dalam antologi puisi ini. Walaupun mereka mengungkapkan dengan sudut pandang dan cara yang berbeda-beda. Â
" Kanjeng Sunan Muria" dan " Di Makam Sunan Muria" oleh Jimat Kalimasadha lebih menyoroti pada perjalanan batin menuju Makam kedua sunan tersebut.Â
Sedang " Di Makam Sunan Kudus" dan " Elegi Gunung Muria" oleh Jumari HS berisi pergulatan batin penulis saat berada di tempat tersebut. Sedang Amir Yahyapati ABY dalam puisinya " Di  Makam Sunan Kudus" dan " Ke Makam Sunan Muria" lebih banyak menggambarkan keindahan alam ketika berada di kedua tempat tersebut.Bin Subiyanto M dalam " Sunan Muria" mengungkapkan tentang perilaku batin seorang sunan pada waktu itu.Â
Penyair Widya Ningrum dalam " Sabda Kanjeng Sunan Muria" mengungkapkan beberapa hal yang terjadi di Kudus yang berhubungan dengan laku para murid Kanjeng Sunan Muria, dan puisi " Kepel Sunan Kudus" menggambarkan kelezatan sego kepel atau biasa disebut sego jangkrik yang dibagikan untuk penziarah pada saat bukak luwur pada tanggal 10 Asyura.
Kuliner Kudus  bukan hanya menjadi favorit  masyarakat Kudus, namun juga menjadi favorit para penyair Kudus alam puisi-puisinya . Seperti : " Semangkuk Soto Pak Di" oleh Mukti Sutarman Espe, " Jenang Kudus Sebermula" oleh Jimat Kalimasada, :"Sate Kebo" dan " Soto Kudus" oleh Bagus Dwi Hananto, "Nasi Pindang"  dan " Semangkuk Soto Kebo" oleh MM Bhoernomo, Rohadi Noor dalam " Lentog" , " Sepiring Lentog Kenangan " oleh Imam Khanafi, " Sate Kebo Mbah Bibit " oleh Pipiek Isfiati , " Misteri Nasi Jangkrik" dan "Candu Pecel Pakis" oleh penyair wanita Myria Dian Farida. Kelezatan dan filosofi makanan khas Kudus tertuang dalam puisi-puisi tersebut.
Masih banyak lagi tempat-tempat dan kekhasan kota Kudus yang menjadi inspirasi para penyair dalam antologi puisi " Bermula dari Al Quds" ini, seperti tentang Kudus, sebagai kota kretek dengan pabrik-pabrik rokoknya yang bertebaran disana-sini, tentang legenda jenang Kudus, dan kehebatan Sosrokartono yang makamnya terletak di desa Kaliputu Kudus. Semua mendapat tempat tersendiri dalam puisi-puisi penyair kota Kudus.
Semua ada 17 penyair dengan masing-masing penyair menyajikan 10 puisinya jadi ada 170 puisi, merupakan antologi puisi lumayan tebal dibanding antologi puisi penyair-penyair Kudus sebelumnya. Â Semua ada 200 halaman puisi dan 6 halaman untuk biodata para penyairnya.
Proyek buku yang bagus dari para penyair Kudus dengan Dinas Kearsipan Daerah Kota Kudus di tahun 2017 kemarin.
Semoga bermanfaat bagi ingin mengerti dan memahami Kudus, untuk saat ini dan masa mendatang. Mohon maaf bila ada kesalahan dalam memberi penilaian dan apresiasi puisi teman-teman di Kudus.
Kudus, 14 December 2018
Salam hangat selalu
Dinda Pertiwi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H