Mohon tunggu...
Sri Subekti Astadi
Sri Subekti Astadi Mohon Tunggu... Administrasi - ibu rumah tangga, senang nulis, baca, dan fiksi

ibu rumah tangga.yang suka baca , nulis dan fiksi facebook : Sri Subekti Astadi https://www.facebook.com/srisubektiwarsan google+ https://plus.google.com/u/0/+SriSubektiAstadi246/posts website http://srisubektiastadi.blogspot.co.id/ https://www.instagram.com/srisubektiastadi/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cemburu] Rumah yang Kesepian

4 November 2018   07:03 Diperbarui: 4 November 2018   14:25 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah berbulan-bulan sepi sekali di sini,  hanya seorang lelaki kurus yang setiap hari menyapu lantaiku. Dinding-dinding yang terbuat dari ukiran kayu tak pernah lagi disentuh, dicuci ataupun sekedar dilap seperti dulu. Hingga terasa gatal-gatal tubuhku. Kemana orang-orang yang dulu ramai menghuni setiap bilikku.

Yang aku ingat mereka satu per satu pamit meninggalkan aku, Entah kemana mereka. Padahal aku ingat betul bagaimana dulu mereka satu per satu dilahirkan disini. Aku yang menjadi saksinya. Bagaimana ibu mereka mulai hamil, dan melahirkan di sini di rumah ini. Satu persatu mereka lahir ada tujuh aku menghitungnya.

Dulu lantaiku masih dingin terbuat dari batu alam, tapi karena anak-anak mereka suka bermain di lantai , mereka menggantinya dengan keramik  putih,  bikin aku tambah terang namun licin, sehingga ketika sang tuan ibu mengandung anaknya yang ke 8 terjatuh dan darah mengalir dan dibawa ke rumah sakit. "Ibu miskram" itu yang aku dengar ketika anak pertama mereka bertanya perihal ibu mereka.

Dindingku dulu masih kayu ukir utuh, sehingga aku tampak cantik. Dengan bertambahnya usia,  satu persatu, dinding kamar diganti dengan tembok yang rapat, entah apa alasannya. Karena aku tahu setelah itu mereka kepanasan bila ada di dalam. Tak lama kemudian mereka menempeli bagian tubuhku dengan AC. Padahal kalau aku tetap dibiarkan berdinding kayu, udara akan bebas keluar masuk dan mereka tidak kegerahan.

Yang paling aku tidak suka, pohon mangga dan Jambu yang dulu menaungiku dari sisi barat rumah mereka tebang. Dengan alasan mengurangi sampah dari daun yang berguguran. Padahal setelahnya aku jadi kepanasan. Dinding-dindingku cepat kusam.

Aku yang menjadi saksi lucunya anak-anak mereka, bila bermain petak umpet, suka bersembunyi diantara daun telinga, eh daun pintuku. Aku menghalangi pandangan adiknya, hingga tak juga menemukan  kakaknya, sampai akhirnya adik menangis.

Ketika satu persatu anak-anaknya mulai remaja, sang gadis suka diapeli pacarnya. Aku pingin ketawa sendiri melihat sang Gadis malu-malu tangannya digenggam pacarnya. Bahkan aku melihat bagaimana si pria itu berusaha mencium si Gadis, sebenarnya aku ingin menghalangi. Namun apalah aku ini.

Bapaknya suka marah-marah bila gadisnya telat pulang, bahkan sang bapak pernah melempar sapu ketika, ketahuan gadisnya dicium di halaman rumah yang penuh bunga sepatu. Aduh!  Hampir saja sapu itu mengenaiku. Dindingku bisa lecet..sakit dong..

Satu persatu bangunan ditambah di kanan kiriku, karena putra putri mereka sudah butuh kamar sendiri-sendri katanya. Sedang aku tak bisa menampung keriuhan mereka lagi. Namun aku suka, aku bahagia, setiap hari ada yang menemaniku, membersihkanku, entah itu pembantunya, ibu bahkan kadang gadis-gadisnya yang cantik-cantik itu.

Yang membuatku sedih, ketika satu persatu mereka menikah. Dan pergi meninggalkan aku. Pastilah mereka ikut suaminya, atau mempunyai rumah sendiri-sendiri.

Namun aku tetap suka di hari minggu mereka yang dulu gadis-gadis cantik itu, pulang  membawa cucu yang lucu-lucu. Aku tetap ramai walau hanya seminggu sekali. Begitulah sebenarnya aku mulai  merasa sepi, di hari-hari lain.

Walau tak seramai dulu lagi, kini aku semakin diperhatikan dan dirawat tuanku yang katanya sudah pensiun.  Tuanku semakin rajin membersihkan aku, mengecat, dan menjumputi sarang laba-laba yang ada saja disetiap tubuhku yang semakin renta ini.

Aku sedih ketika melihat Tuan terjatuh saat membetulkan genting di atasku. Tampaknya tuan agak parah sehingga lama dirawat ke rumah sakit. Beberapa minggu tak melihatnya. Hatiku sangat pilu, ketika sepulang dari rumah sakit, tuanku tak lagi bisa berjalan biasa, kemana-mana tuan harus menggunakan kursi roda . Kasihan.

Sejak itu, aku serasa menjadi sebuah rumah sakit. Ada saja perawat, bau obat-obatan dan suara erangan kerap muncul di dalamku.

Aku sedih bukan kepalang ketika akhir sang Tuan meninggal. Kini aku hanya dihuni tuan ibu dan seorang pembantu. Aku dengar semua anaknya sudah berdomisili di luar kota dan jarang pulang menenggok ibu mereka. Bagaimana pun aku tetap senang melihat tuan ibu tetap sehat , bersemangat menjalankan bisnis pembuatan batik di sini. Ada beberapa karyawan yang tiap hari datang untuk membatik, menjahit dan bekerja disini. Silih berganti orang-orang yang datang disini.

Tahun demi tahun berganti, kesehatan tuan ibu, juga semakin berkurang . Aku melihatnya sendiri tuan ibu sering tak bisa tidur, gelisah dan kesepian. Tujuh anak yang dilahirkan tak ada yang bersedia menemaninya disini. Hanya sebulan sekali mereka bergiliran datang. Seorang pembantu, dan seorang perawat dikirim untuk ibu mereka. Kenapa bukan mereka sendiri yang merawat ibunya, karena waktu mereka masih kecil-kecil ibunyalah yang merawat mereka. Pembantu hanya sekedar membantu.

Kesepian terus dan terus menggerogoti kesehatan sang tuan ibu, hingga ibu jatuh pingsang dan dibawa ke rumah sakit. Saat itulah, aku melihat semua putra-putrinya pulang. Namun, tampaknya mereka tergesa-gesa, mungkin mereka meninggalkan tugas di luar sana. Hingga akhirnya tuan ibu dipanggil yang Kuasa.  Rasa haru, sepi dan kehilangan aku rasakan begitu mendalam.

Kini aku sangat kesepian. Hanya lelaki yang kurus itu, yang setiap hari membersihkanku dengan ogah-ogahan. Terus terang aku cemburu dengan bagunan kecil diujung sana. Walau tak seluas aku, dia tak pernah kesepian. Karena beberapa anaknya yang telah menikah tetap ditinggal disitu. Ada saja suara tangis, tertawa dari cucu-cucu mereka.

Atau bangunan di depanku persis, yang sepantaran dengan umurku pembuatannya. Walau bapak ibunya juga telah tiada  seorang anaknya masih tinggal di sana bersama suami dan anak-anaknya. Walau tak semewah aku, bangunan itu tampak selalu ceria , terang dan mengasyikkan.

Entah apa salahku, hingga tak  ada lagi yang mau tinggal bersamaku disini. Dan membiarkanku merana, sedih menjadi kenangan belaka.

Kudus, 4 November 2018

Salam fiksi

Dinda periwi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun