"Buatkan aku selarik puisi, Mak ! " Pintamu sambil menyerutup kopi, pagi tadi.
Huzzztt...enak aja kau suruh-suruh, mana bisa aku membariskan kata-kata menjadi serupa tentara. Yang rapi tersusun dan enak dibaca
masaku berpuisi telah lewat, sejak tak ada lagi  melati dan secangkir susu murni.
huruf demi huruf yang tertimpa jemariku, sungguh tak lagi bisa tereja, apalagi dibilang bermakna.
Kegundahanku tak lagi bisa terbaca, Â walau abjad demi abjad telah sebisa mungkin kumantra...
dan akhirnya....ku hapus lagi, lagi, lagi, lagi dan lagi.....
Hingga seorang penyair ditemukan telah gantung diri, tepat pada kata yang sering diabadikannya
di telapak kakinya mengempal surat wasiat buat pemuja puisinya.
" Wahai pemujaku , lihatlah ! ...ini akibat kau terlalu menyanjungku
Menempatkan aku di ujung hatimu, di lidahmu, dan di ujung uratmu
Hingga aku terhempas bagai sampah. Tanpa seorang pun bersedia memungutku