Mohon tunggu...
Sri Subekti Astadi
Sri Subekti Astadi Mohon Tunggu... Administrasi - ibu rumah tangga, senang nulis, baca, dan fiksi

ibu rumah tangga.yang suka baca , nulis dan fiksi facebook : Sri Subekti Astadi https://www.facebook.com/srisubektiwarsan google+ https://plus.google.com/u/0/+SriSubektiAstadi246/posts website http://srisubektiastadi.blogspot.co.id/ https://www.instagram.com/srisubektiastadi/

Selanjutnya

Tutup

Fiksi Islami Pilihan

Mudik Kami yang Pertama

7 Juni 2018   22:06 Diperbarui: 8 Juni 2018   06:58 804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semalaman aku sudah tidak bisa tidur, melihat suami yang pulas dalam dengkurnya, membuat rasa kantuk yang tadi benar-benar melekat setelah sholat tarawih hilang seketika.

Membanyangkan besok jam segini aku sudah bisa di dekat Emak, kalau masih tak bisa tidur lagi besok pasti ada yang menemani,  itu saja sudah menyenangkan. Jam sudah menunjukkan jam 2.00 pagi. Tak lama lagi waktu sahur tiba, sebaiknya aku sholat tahujud dulu sekarang.

Aku putuskan untuk turun dari ranjang. Mengambil air wudhu dan  sholat tahajut  2 rokaat  untuk memohon keselamatan perjalanan besok pagi. Setelah selesai, aku mengecek kembali tas-tas yang sudah aku siapkan dari kemarin. Satu tas rangsel lumayan besar, 1 tas koper, 2 tas jinjing berisi oleh-oleh buat Emak dan ponakan-ponakan. Aku sudah membayangkan betapa mereka menyukai apa yang nanti aku bawa. Walaupun harganya tak seberapa, berupa gelang-gelang dari batu dan kayu yang merupakan kerajinan tangan khas daerah yang aku tinggal sekarang.

Lima tahun sudah sejak kami memutuskan untuk merantau ke tanah Borneo,  baru kali ini kami berkesempatan pulang mudik menjelang hari lebaran.

Aku mengingat kembali, tahun-tahun awal kami di Borneo.  Semua memulai dari nol.  Suami belum mempunyai pekerjaan tetap, bahkan untuk membayar uang kontrakan yang tak seberapa kami masih merasa berat. Untunglah pemilik rumah mengerti, kami diberi kelonggaran untuk membayar secara bulanan yang lebih ringan.

Lebaran tahun pertama, kami hanya bisa membeli separoh ekor ayam kampung untuk dimasak opor, agar rasa lebaran  di kampung halaman tetap terasa walaupun kami ada jauh di pelosok Borneo. Suara Emak di ujung telfon membuat aku tak tahan lagi untuk tidak menumpahkan air mata kerinduan. Kami mohon maaf sebesar-besarnya, karena belum bisa menemani Emak berlebaran kala itu. Untunglah tetangga kanan kiri yang merupakan penduduk asli di sini  baik, kami diundang untuk sekedar menikmati Soto Banjar  dan wadai bingka waluh di rumah mereka.

Tahun kedua  di perantauan, ternyata kami belum bisa pulang juga,  saat lebaran tiba. Karena suamiku baru saja mendapatkan pekerjaan, di sebuah perusahaan tambang batubara. Karena belum lama bekerja,  tak ada libur, jatah cuti pun masih beberapa bulan lagi. Bahkan suami tetap bekerja setelah sholat Iedul Fitri selesai. Ya sudahlah.  Aku sendirian di rumah, paling hanya ke tetangga yang dekat saja yang sudah kenal. Karena kami sudah berpindah kota dari yang lebaran pertama dulu.

Ternyata di lebaran tahun ketiga, kami juga tak bisa pulang lagi. Karena lebaran tidak bertepatan dengan jatah cuti suami. Sebagai karyawan kami harus patuh pada aturan dan jadwal kerja yang sudah dibuat. Aku hanya bisa mengirimi Emak di rumah, dengan Amplang, makanan khas daerah  tempat  aku bermukim sekarang. Sambil menangis ditelfon,  mohon maaf yang sebesar-besarnya  kepada Emak, karena ternyata tak bisa mudik lebaran lagi. Untunglah Emak pengertian, mengikhlaskan kami tidak datang secara fisik, namun seiap saat aku menelfon Emak, menemaninya melalui suara.

Syukur Alhamdulillah, walaupun jauh dari kampung halaman, aku berusaha memasak hidangan lebaran ala kampung kami di Jawa. Ketupat, lepet, opor ayam, membikin kue  keciput, kacang bawang dan semprit sagu. Dan ternyata tetangga yang datang suka dengan hidangan yang kami sajikan, karena lain dari yang lain.

Lebaran tahun ke empat, suamiku baru saja pindah ke perusahaan lain, lain kota pula. Kami baru saja pindah boyongan ke kota ini, yang merupakan kota sebelah dengan kota yang sebelumnya, namun tempatnya jauh lebih pelosok. Karena desa tempat kami tinggal sekarang hanya bisa di tempuh dengan speetboad selama 3 jam atau melalui  jalan lumpur di perkebunan kelapa sawit selama hampir empat jam untuk mencapai kota.

Waktu lebaran kami masih berbenah rumah kontrakan yang baru, rumah yang sangat sederhana.  Berupa rumah  panggung kayu yang lumayan tinggi, dan luas.

Namun jauh-jauh hari aku sudah memberitahukan  keadaan yang sedang kami alami kepada Emak, dan kemungkinan besar kami tak dapat mudik lagi. Walaupun kangen luar biasa, kami harus bisa menahan. Dan berjanji agar tahun depan kami harus bisa mengatur waktu untuk pulang.

Tibalah saatnya, lebaran kali ini adalah lebaran kelima kami berada jauh dari Emak, jauh dari kampung halaman. Aku dan suami akan menepati janji mudik saat lebaran tiba. Rasa kangen pada Emak dan kampung halaman sudah tak tertahan lagi.

Jam 4 pagi, setelah selesai sholat subuh kami sudah  dijemput travel yang akan membawa kami ke kota dimana Bandara ada. Kira-kira 10 - 12 jam perjalan akan kami tempuh untuk bisa sampai ke bandara. Namun begitu aku tetap berusaha untuk puasa, walaupun ada keringanan untuk membatalkan karena sedang safar.

Pagi masih gelap ketika mobil L 300 yang akan membawaku dalam perjalanan selama 12 jam meninggalkan kampung tempat kami bermukim. Kebetulan semalaman listrik mati, kami hanya menggunakan lampu senter untuk penerangan, mengecek  agar semua bawaan kami tak ada yang ketinggalan.  Travel yang sudah kami pesan 3 hari yang lalu, harus melewati jalan lumpur di tengah-tengah perkebunan sawit. Karena beberapa hari ini hujan turun, jalan menjadi kubangan-kubangan lumpur yang membuat perutku  serasa dikocok-kocok , dibanting-banting.  Bahkan satu roda sempat slip dan harus ditarik dengan truck yang berada di depannya.

foto dari grup FB Kotabaru Pulau Laut
foto dari grup FB Kotabaru Pulau Laut
Tiga jam lebih dalam kubangan-kubangan lumpur, membuat pertahanku untuk tetap berpuasa goyah. Ketika sudah sampai di jalan raya beraspal, mampirlah travel ke sebuah warung yang ternyata buka pagi di bulan Ramadan ini.  Setelah ikut kencing di rumah dekat warung, akhirnya aku memesan teh hangat juga, karena perut rasanya sudah tak karuan. Ternyata kami baru sampai di Bungkukan, setelah hampir 4 jam perjalanan. Karena keadaan jalan yang begitu memprihatinkan. sebenarnya kami bisa saja memilih jalan laut yang lebih cepat. Sebagai pilihan untuk mudik berikutnya.

Mudik lewat laut, tanpa melalui perkebunan Sawit Foto dokpri
Mudik lewat laut, tanpa melalui perkebunan Sawit Foto dokpri
Travel segera melanjutkan perjalanan di jalan beraspal yang sudah lumayan mulus, sepanjang perjalanan rumah-rumah penduduk belum begitu padat, hanya di dekat pasar dan keramaian saja yang sudah lumayan padat penduduk. Yang paling aku suka pemandangan bukit-bukit batu cadas yang di tumbuhi lumut sehingga membentuk seperti gugusan pulau- pulau  pada peta. Bagus sekali, semua hasih tampak alami, hanya sebagian kecil saja yang batunya sudah diambil dan dimanfaatkan warga.

Hampir jam 12 siang kami sudah memasuki Sungai Danau, di sana kami pernah tinggal sebelum sebelum pindah ke tempat kami yang sekarang. Ternyata Sungai Danau semakin ramai, mini market, keramaian dan toko-toko besar sudah banyak berjajar di kanan-kiri jalan. Hampir dua tahun kami meninggalkan ternyata kemajuannya begitu menyolok. Mungkin dengan semakin banyak perusahaan tambang baru, sehingga semakin banyak pendatang di tempat ini.

Travel singgah sebentar untuk makan siang dan sholat dhuhur, karena ternyata hampir seluruh penumpang telah membatalkan puasanya. Menu Sop daging membuat kami agak bergairah kembali melanjutkan perjalanan.

Sepanjang perjalanan dari Sebamban, Serindai, Sungai Cuka, Kintap dan Asam-asam banyak sekali perusahaan-perusahaan tambang batubara baru dalam skala kecil sampai sedang. Terowongan jalan untuk lalu lintas truck tambang juga banyak kami lewati. Karena kendaraan tambang tidak boleh menggunakan jalan umum, maka biasanya perusahaan tambang membuat jalan sendiri sampai ke tempat pengapalan batubara di pinggir laut.

Jalanan tak begitu ramai jadi kendaraan yang kami tumpangi bisa melaju agak kencang. Karena jadwal penerbangan kami jam 16.30 dan jam 15.30 sudah harus chek in, rasanya deg-degan juga. Karena hingga jam 13.30 kami belum juga melewati Pelaihari. Untung sopir sertinya sudah terbiasa dan tahu jadwal penerbangan, jadi dia bisa mengambil celah untuk terus melajukan kendaraannya. Karena begitu sampai Jorong jalanan sudah mulai agak ramai, walau masih tetap lancar.

Tepat adzan Asar kami sudah memasuki daerah Liang Anggang setelah melewati Cempaka daerah tempat pengasahan intan  dan berlian di Martapura. Alhamdulillah sebentar lagi sudah sampai ke Banjarbaru. Sepanjang perjalanan aku lihat suamiku bisa tidur pulas. Mungkin dia capek karena sehari-hari bekerja, dan ini merupakan cuti hari pertamanya. Lain dengan aku, walau semalaman tidak bisa tidur, tetap saja di perjalanan tak dapat memejamkan mata sedikit pun, aku lebih suka melihat-lihat pemandangan sepanjang perjalanan.

Walau agak telat sedikit dari perkiraan semula, jam di bandara sudah menunjuk jam 16.00 kami segera menyeret tas-tas kami menuju tempat boarding pass.

Tak lama kami di ruang tunggu, sudah dipersilakan naik ke dalam pesawat.  Hawa dingin di dalam pesawat justru yang membuat aku mengantuk. Walau penerbangan kami hanya 60 menit sudah sampai di Bandara A. Yani Semarang.

Karena perbedaan waktu, selisih satu jam dengan waktu Banjarmasin, kami tiba  di Semarang setelah Adzan maghrib. Namun begitu dimana-mana tampak terang benderang karena lampu penerangan dimana-mana. Ini terkadang membuat saya iri, keadaannya jauh berbeda dengan tempat kami tinggal. Yang jarang ada listrik, kalaupun ada suasana tetap remang-remang. Lampu-lampu tampak redup walau sudah memakai bolam berwatt tinggi.

Sampai di Bandara A. Yani, kami segera memesan layanan taksi bandara yang akan mengantar kami sampai di Kudus. Kami harus menempuh perjalanan lagi  selama kurang lebih satu jam agar bisa samp

Memasuki kota Kudus, ternyata sholat tarawih belum selesai, jadi jalanan tidak begitu ramai. Ada rasa degup di dada sewaktu taksi masuk ke gang rumah Emak.

Alhamdulillah....akhirnya sampai juga kami di rumah. Emak rupanya sudah bersiap menyambut kami yang sudah hampir 5 tahun tidak pulang.

"Maak...." Teriakku setelah keluar dari taksi .

' Alhamdulillah...wis tekan Nduk.." Sambut emak dengan riang gembira, Kami segera berpelukan melepas rindu. Sampai lupa menurunkan tas-tas kani dari bagasi, untung sopir taksi baik, mau  membantu menurunkan semua bawaan kami.

Masih ada waktu istirahat sehari sebelum lebaran tiba esok lusa. Aku terharu sekali dengan sambutan emak. Di meja makan sudah tersedia hampir semua makanan kesukaan aku dan suamiku. Sayur bening dan penyet ikan gurami sambal terasi. Setelah sejenak kami melepas lelah, aku segera mandi mengguyur seluruh tubuh. Rasanya segar sekali air di kampung halaman ini, beda banget dengan air di perantauan.

Kudus, 7 juni 2018

Salam hangat selalu

Dinda Pertiwi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Fiksi Islami Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun