Pesawat Sriwijaya Airline baru saja mendarat di Bandara Samsudin Noor Banjarmasin, waktu telah menunjukkan pukul 18.40 wita menjelang petang, untunglah paman Sam taksi yang aku pesan sudah menunggui. 10 jam perjalanan darat harus aku lalui lagi, untuk menuju kampung halamanku Geronggang. Sebuah desa kecil di ujung Kalimantan Selatan, kali ini aku memilih lewat jalan darat saja, tanpa melewati Kotabaru yang harus nyebrang laut 2 kali. Aku memilih menyusuri jalan offroad di perkebunan kelapa sawit saja. Mesti jalan tanah itu sering berlubang dan berlumpur tebal.
Lebaran tinggal dua hari lagi, aku putuskan mudik, setelah 2 tahun mencari ilmu di Jawa. Kata mamak kampung kami sekarang sepi . Laksana kampung mati yang ditinggal sebagian penghuni. Abah juga sudah tidak bekerja pada perusahaan Batubara Australia itu. Hampir semua karyawan kena PHK, sehingga para pendatang yang menjadi bagian besar penduduk kampung ini telah pergi meninggalkan kami. Untunglah abah masih mempunyai beberapa hektar kebun Sawit dan karet. Sebagai penganti mata pencaharian keluarga, dan ladang yang biasa kami tanami padi gunung, sayuran dan beberapa pohon buah.
Travel yang dikemudikan paman Sam melaju dengan kencang menyusuri jalan-jalan lenggang diantara perkebunan dan bekas-bekas lubang tambang yang dibiarkan begitu saja di selatan pulau Borneo. Tepat jam 3 pagi saat sahur tiba travel berhenti di depan pasar Bamega Sungai Danau untuk melaksanakan santap sahur di kedai Haji Udin yang terkenal dengan nasi Kuning Haruan Masak Habang dan Itik bakarnya. Aku menghabiskan sebungkus Nasi Kuning Itik bakar dan melanjutkan dengan meminum teh panas dan beberapa potong wadai yang tersedia. Semoga bisa menahan puasaku hari ini.
Setelah semua selesai paman Sam kembali melajukan mobil membelah rimbun perkebunan karet. Hari sudah menjelang pagi ketika kami memasuki jalan offroad perkebunan kelapa sawit di daerah Bungkukan. Jalan yang benar-benar mengocok perut. Hatiku bergejolak, penat dan ngantuk memadu. Tiga jam di dalam perkebunan sawit akhirnya sampai juga kami di jalan kampung. Walaupun kondisinya masih sama saja offroad tapi sudah sering dilewati kendaraan sehingga nyaman saja.
Memasuki desaku Geronggang, rasa sepi menjalar ketika taksi melewati pasar Selasa, pasar andalan kami yang dulu lumayan ramai, apalagi saat menjelang lebaran seperti ini. Lapak-lapak aus masih setia menjajakan aneka kebutuhan rumah tangga. Toko-toko yang sempat memadati jalan menuju pasar kini sepi ditinggal pemiliknya. Hanya beberapa toko yang setia melayani pelanggannya.
Beberapa Kapal kayu masih bersandar menurunkan muatan kebutuhan barang di desa kami, dan speedboat yang dulu ramai penumpang sekarang tinggal beberapa saja yang masih terpakir menunggu penumpang yang hendak menyebrang ke Kotabaru. Itulah pemandangan yang Nampak ketika travel kami sempat singgah di dekat pelabuhan untuk mengantar penumpang.
“ Assalamu’alaikum Mak……..” teriakku ketika taksi berhenti tepat di depan rumah panggung kayu yang cukup luas. Rumah tempat aku dilahirkan dan dibesarkan.
“ Wa’alaikum salam Aluh……anak emak udah tiba….” Balas emak yang sedang di depan rumah bersama Mamak tetangga. Mamak segera membantuku turun dari mobil dan menurunkan bawaanku.
Aku salami semua yang ada di halaman rumahku. Beberapa tetangga dekat mendekat menjambut kedatanganku. Kami saling menyapa dan bertanya keadaan masing-masing dalam bahasa Banjar.
Untuk menghilangkan penat perjalanan aku guyur tubuhku dengan air yang masih terasa dingin karena telah mengendap beberapa hari di dalam drum-drum persediaan. Kami harus menyediakan banyak drum karena air yang mengalir dari hutan tidak bisa diprediksi, kadang bisa deras, bisa tak menetes airnya bisa juga mengalir tapi berwarna coklat keruh. Setelah bebersih diri aku tidur agar nanti sore bisa membantu Mamak menyiapkan buka puasa, dan sholat tarawih di Masjid desa kami.
Sementara Mamak sibuk dengan membuat wadai Bingka, Apam dan tapai baras hijau untuk persiapan lebaran lusa.
Bau sambal ramania dan ikan papuyuh bakar dari dapur membangunkan tidurku sore itu. Ternyata waktu Ashar sudah tiba, setelah sholat membantu Mamak di dapur membuat badan terasa nyaman. Mengupas intaluk, membuat lontong Banjar dan Lamang.
Malam itu kami tarawih terakhir di Masjid desa yang sudah bersih dan dihias sekedarnya oleh para lakian pagi tadi. Semua terasa semarak, walaupun tidak semeriah tahun-tahun kemarin tatkala penduduk desa kami masih banyak pendatang yang bekerja di Perusahaan Batubara yang ada di daerah kami.
Esoknya..merupakan Ramandhan hari terakhir, semua orang haur…dengan kegiatannya masing-masing, Mamak-mamak di dapur, dan para Lakian sibuk menghias untuk takbiran keliling nanti malam. Sebagian lagi sibuk membersihkan makam leluhur di makam ujung desa kami. Biasanya setelah melaksanakan Sholad Iedul Fitri kami ke makam leluhur untuk mendoakan arwah mereka sejenak, sebelum bersilaturahmi dan bersalam-salaman dengan sanak saudara dan tetangga.
Ramandan ini ada haru yang menyeruak…..bagaimanapun ramainya kehidupan Jawa tempat aku belajar tak membuat aku kehilangan hikmat Ramandhan di kampung sendiri.
Waktu suah menunjuk puluk 8.00 pagi sholat Iedul Fitri segera dimulai…..panas terik sudah mulai terasa menyengat dari teras masjid desa kami…namun hati kami selalu damai dan nyaman berada di kampung sendiri, yang entah kapan bisa teraliri listrik 24 jam, dan menikmati jalan beraspal desa yang nyaman. Dan orang-orang tidak hanya mengeruk kekayaan alam kami, dan melupakan begitu saja setelah manis hasil alam terengguk habis.
keterangan :
intaluk (bahasa Banjar) = telur
haur (bahasa Banjar) = sibuk
Lakian (bahasa Banjar) = Laki-laki
Lamang = kue khas Banjar.
Inilah hasil Karya Peserta Event Fiksi Ramandhan Berhadiah
Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community
Kudus, 14 juli 2014 : 15:11
'salam fiksi'
Dinda Pertiwi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H