"Hernowo...engkau hanya akan mempunyai hak bicara..dan wewenang semua warisan keluarga Dipadiharja bila nanti sudah mempunyai keturunan....sebelum itu kamu hanya dianggap sebagai anggota keluarga biasa.." Mas Hernowo pun hanya bisa mengangguk lemah.
Pada rapat kali ini sudah diputuskan siapa wanita yang hendak menikah dengan suamiku. Kami tidak diberi kesempatan untuk memilih sendiri. Karena para tetua sudah memperhitungkan dari segi bibit, bobot dan bebet. Bibit seorang wanita bisa dilihat dari keturunannya, bobot merupakan kwalitas dan karakter seseorang perempuan, sedangkan bebet bisa dilihat dari ciri-ciri fisiknya.
Pilihan sudah dijatuhkan. Siti Sholeha, putri dari H. Danuri, seorang alim ulama di Kudus, seorang lulusan pondok pesantren. Aku memang belum pernah bertemu dengan anaknya, hanya beberapa kali mengikuti ceramah bapaknya saja. Keputusan rapat sudah bulat. Dan tinggal pelaksanaannya saja. Besok akan diadakan acara nakokke , utusan dari pihak keluarga Dipadiharja akan berkunjung ke tempat tinggal orang tua Siti Sholeha. Selanjutnya segera diadakan acara lamaran, sambil berunding kapan acara pernikahan bisa dilaksanakan. Pihak keluarga menginginkan secepat mungkin. Mas Hernowo sendiri sekarang berubah agak pendiam. Aku menyadari kegundahan hatinya. Dia sebenarnya tidak ingin melakukan apa yang sama sekali tidak diingikannya. Aku tetap berusa tenang dan menerima semua ini. Walaupun hatiku terasa hancur, bagaimana tidak, aku harus berbagi suami. Harus ada orang lain diantara kami. Aku takut bila nantinya mereka sudah mempunyai keturunan apakah Mas Hernowo sedikit demi sedikit akan berubah dan menjauhiku. Aku akan kesepian sendiri. Tapi bila mengingat keadaanku yang belum juga berketurunan aku harus rela, aku harus berkorban demi keluarga besar Dipadiharja ini.
"Pengorbananmu akan dibalas sing kuasa Nduk....sing sabar lan sumareh yo..." begitu pesan ibu mertua yang sudah biasa hidup bersama madu-madunya. Ibu tampaknya mengerti akan kegelisahan dan kesedihannku. Sehingga ibu memberiku kesibukan untuk mengurusi usaha batiknya. Semakin dekat hari H kesibukan semakin meningkat, rupanya akan diadakan upacara pernikahan secara besar-besaran seperti permintaan keluarga keluarga H. Danuri. Aku tidak mengerti apakah mereka juga mempertimbangkan perasaanku atau tidak. Aku tidak pernah dimintai pendapat lagi. Kecuali Ranjang Pengantin dan pernik-perniknya mereka meminta pendapatku. Karena kamar pengantin mereka ada di kamarku sebagai kamar utama yang terletak di Sentong tengen, maka aku harus pindah kamar. Aku memilih tinggal di gladak yang agak tertutup, karena letaknya ada di bawah ruang Jogosatru , jadi aku bisa lebih leluasa menyendiri. aku ingin menyelesaikan beberapa karya fiksiku yang sempat terbengkalai.
Sehari sebelum hari H. aku dan Mas Hernowo masih menempati kamar utama, baru esok sebelum di gelar upacara ijab-qobul ranjang pengantin itu akan dipasang dan dihias. Malam ini menjadi malam yang terakhir aku memilki suamiku secara penuh.
"Jeng...kenapa harus berakhir begini....maafkan aku Jeng..." ucap lirih Mas Hernowo di telingaku.
"Mas harus tetap tegar...Mas harus ingat sebentar lagi Mas akan menjadi bapak...Mas akan segera punya keturunan. Kuatkan hati....pandanglah masa depan itu dengan lebih baik...untuk kebaikan kita semua ini Mas...aku sudah mengiklaskan, karena aku sangat mencintai Mas..." aku hanya bisa berpura-pura tegar dan memberi semangat pada suamiku.
Malam itu kami habiskan untuk menikmati indahnya cinta secara penuh, melebihi saat malam pertama dulu. Semalaman kami tidak ingin melewatkannya. Karena tinggal malam ini saja aku memiliki suamiku secara utuh,walaupun hari-hari selanjutnya masih milikku. Tetapi esok aku harus membaginya, aku harus banyak mengalah dan sabar.
*************
Hari yang ditunggupun tiba. Pagi-pagi aku sudah memberesi tempat tidur yang biasa kami pergunakan bercinta ke Gladak. Dengan dibantu beberapa rewang , dalam sekejap tempat tidurku sudah tertata rapi. Aku tidak ingin mengganti spreinya. Sprei yang menjadi saksi indahnya percintaan kami semalam. Bau keringat kami beradu ada di sprai itu. Seharian aku hanya terdiam di ruang Gladak yang sekarang telah berubah menjadi kamarku. Aku habiskan waktu untuk menulis merampungkan fiksi-fiksiku. Suara gaduh di luar masih saja aku dengar, celoteh agak jorok para ibu di pawon, atau kemeriahan yang terjadi di Pendopo dan Pringgitan. Aku tak ingin menengoknya. Lebih baik aku menguatkan hatiku di sini.
Aku hanya beberapa saat membantu tukang dekor yang akan menyulap kamarku menjadi kamar pengantin buat suamiku. Karena aku yang tahu selera Mas Hernowo maka aku dimintai pendapat soal hiasan kamar pengantin. Bagaimana Ranjang Pengantin yang disukai Mas Hernowo. Dengan lapang dada aku membantunya. Walau hatiku terasa hancur memikirkan apa yang akan terjadi nanti malam antara suamiku dan pengantin wanitanya. Maka aku segera bergegas kembali ke Gladak.