Dalam dunia kerja selalu ada bawahan dan atasan (pimpinan, bos) dengan kewajiban dan hak sesuai tanggung jawab yang dibebankan. Bawahan, pada masanya bisa menjadi bos asal memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku dan lolos uji kompetisi dan kompetensi secara formal dan in formal.Â
Bos yang saat ini berkuasa pun dapat berakhir karena masa jabatan habis atau memasuki masa pensiun. Artinya menjadi bos itu tidak selamanya, ada batas waktu amanah dan fasilitas yang melekat dapat berakhir. Maka saat mendapat amanah menjadi bos perlu berhati-hati dalam bertindak dan bersikap., agar berakhir dengan "catatan baik".Â
Bukan sebaliknya dalam perjalanan dapat tersandung masalah akibat ulah dan tingkah laku sendiri, atau para "pecundang" yang ada disekelilingnya. Menyandang gelar bos itu amanah, yang harus rela berkurban "mewakafkan" waktu, tenaga, pikiran untuk kepentingan institusi dan orang banyak.Â
Berusaha menjauhkan sifat arogansi, yang mengandalkan "adigang, adigung, adiguna" (kekuatan, kekuasaan, dan kepandaian), karena inilah sumber masalahnya. Â Â Â
Selama masih aktif punya pengalaman mempunyai bos dengan berbagai sikap, karakter dan perilaku baik dengan dengan bawahan maupun atasan yang lebih tinggi. Ada bos yang tidak suka bawahan banyak usul dan melakukan perubahan.Â
Apalagi usulan dari yunior yang dianggap "anak bawang, anak kemarin sore belum ada pengalaman di dunia kerja". Anehnya bos itu lebih asyik diajak ngobrol tentang filosofi kehidupan dan membaca lingkungan. Akibatnya ide-ide kreatif yunior yang berbekal ilmu yang dimiliki, selalu kandas.Â
Walau bos yang lebih tinggi mengapresiasi ide-ide kreatif dan inovatif yunior, tidak serta merta dapat terealisir. Yunior baru dapat mengaplikasikan ilmunya menunggu bos pensiun. Berapa lama ?. Tergantung usia bos, bisa 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun, memasuki batas usia pensiun.Â
Namun masuknya para "fresh graduate" berbasis TI mampu meruntuhkan bos bertahan dengan gaya kepemimpinan transaksional (tidak suka ada perubahan), autokratis (semua diputuskan sendiri). Berubah menjadi gaya kepemimpinan demokratis (melibatkan tim), transformasional (melakukan perubahan), lassez-faire (tim membaantu memimpin).
Dari semua gaya kepemimpinan itu pernah merasakan dipimpin bos perempuan, yang sekilas baik, merombak sistem yang telah ada, meningkatkan kesejahteraan yang berkeadilan.Â
Namun dibalik semua itu ternyata mempunyai rencana besar untuk "membisiki" bos besar dengan kekuasannya untuk menyingkirkan rival-rival yaang dianggap berbahaya.Â
Caranya setelah berargumen ke bos besar dan menyetujui, dibuatkan Surat Keputusan (SK) Resmi ditanda tanganinya untuk "mematikan" karir seseorang. Licik sekali bukan ?. Bisa berlindung dibawah "payung kekuasaan bos besar".Â