Prinsipnya setiap bawahan yang "dianggap" melakukan kesalahan  (misal tidak disiplin), bukan dibina dengan peringaatan lisan dan tertulis sampai 3 (tiga) kali, tetapi langsung "dibinasakan".Â
Sadis, horor dan tega banget bukan ?. Kenapa ada bos yang cantik secara fisik, tetapi hati dan tindakannya seperti "monster" ?. Bos besar saja diperdaya sehingga "khilaf" mengikuti saja tanpa dicek dan diteliti secara obyektif, atau klarifikasi. Akibatnya staf potensial disingkirkan karena keberadaannya sangat menganggu sepak terjang dan rencana busuk selanjutnya.
Kenapa bos perempuan lebih sadis dengan bawahan perempuan ?. Walau tidak semua bos perempuan mempunyai sifat galak dan sadis, karena naluri keibuan, rasa empati, simpati dan toleransi lebih besar. Namun di dunia kerja nyata ada bos perempuan yang hilang nalurinya.Â
Kondisi ini disebabkan dirinya mempunyai masalah kepribadian (iri hati), sehingga tidak senang bila mempunyai bawahan yang pangkat, pendidikan, lebih tinggi. Batas usia pensiun lebih lama, berprestasi, mempunyai tambahan pendapatan diluar gaji, mendapat apresiasi dan kepercayaan bos besar.Â
Bawahan perempuan yang demikian menjadi rivalnya dalam berkarir. Diaturlah strategi halus dan kasar, agar bos besar dan setuju "menyingkirkan". Padahal bawahan biasa-biasa saja, tetapi prestasinya berpotensi menganggu kepentingan pribadi dan kroninya. Walaupun bawahan berprestaasi tidak diapresiasi, justru dicari  celah-celah kesalahan sehingga dapat memberikan hukuman.
Untuk bos seperti ini wajar bila bawahan tidak respek sedikitpun, karena hanya menyenangkan bos besar, tetapi menyikut kanan kiri dan menginjak bawahan atas nama penegakan "disiplin kerja".Â
Saat sedang menjabat sudah menebarkan rasa kebencian dengan bawahan, maka ketika jabatan itu "lengser"/berakhir, pasti disambut dengan suka cita karena terbebas dari monster. Rasa hormat hilang, apalagi peduli dan simpati. Sungguh sangat menyiksa bukan ?.Â
Akibatnya saat pelepasan purna karya pun, tidak punyai "nyali" untuk hadir dalam acara kehormatan tersebut. Semua itu menjadi pilihan, saat mendapat amanah menjadi bos benih yang ditanam itulah yang tumbuh. Menyebar benih baik saja belum tentu tumbuh tanaman yang baik, apalagi menyebar benih kebencian, permusuhan, dan tidak menyenangkan. Â
Ketika mendapat amanah untuk menjadi bos, bila sesuai kaidah kepemimpinan, kemanusiaan, jujur, disiplin, bijaksana, adil, mensejahterakan, memberi kesempatan, menjalin komunikasi (atas, samping, bawah), menjaga lisan, saat lengser tetap disegani dan dihormati.Â
Bos yang baik itu bukan ditakuti tetapi disegani, kata-kata yang diucapkan memberi motivasi dan semangat. Apalagi mempunyai wawasan luas dan bersedia berbagi ilmu yang dimiliki adalah anugerah dalam menjalani karirnya. Semua itu dapat memberi rasa aman, nyaman, tenang, tenteram sehingga produktivitas meningkat dan pelayanan semakin berkualitas.Â
Jadi saat mendapat amanah menjadi bos lakukan yang terbaik mengingat kesempatan menanam kebaikan itu semakin terbuka luas. Jaga tutur kata, jangan sampai melukai hati siapapun, walau dengan satpam, juru parkir, tenaga pembersih sekalipun. Â