Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sikap "Saling" dan Menjaga Komitmen Bersama Suami-Istri

16 Desember 2020   03:02 Diperbarui: 16 Desember 2020   15:05 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi:https://www.orami.co.id

Terbentuknya keluarga karena ada ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri. Tujuan membina keluarga (rumah tangga) untuk mencapai kebahagian yang berpedoman Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya keluarga bahagia lahir batin terbentuk berdasarkan agama yang dianutnya.

Untuk mewujudkan tujuan keluarga bahagia, sejahtera lahir batin, modalnya bukan hanya cinta suci yang selalu diikrarkan. Masih perlu persiapan materi, pengorbanan, perjuangan, ketulusan hati, toleransi, kesetiaan dan tanggung jawab.

Tidak semua keluarga baru langsung berkecukupan secara materi, kecuali mendapat hibah (pemberian) orang tua, atau hasil kerja kerasnya berupa tabungan. Sering keluarga baru mulai dari nol, tidak mempunyai apa-apa, justru menjadi kenangan indah yang sulit dilupakan. Bekal ijazah, kompetensi, dan soft skill menjadi senjata untuk mencari pekerjaan.

Dari kerja keras dan cerdas inilah mendapatkan penghasilan untuk keluarga baru. Namun ada juga yang berkeluarga modalnya  "nekad", dan "terpaksa", akibat pergaulan bebas.

Pernikahan dini dilakukan, walau secara ekonomi, biologis, emosi dan psikologis belum siap berkeluarga. Akibatnya riskan terjadi perceraian, yang berpotensi menimbulkan masalah sosial di masyarakat.

Idealnya membina keluarga itu mempunyai sumber penghasilan untuk mencukupi kebutuhan pokoknya. Dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, suami sebagai kepala keluarga, istri ibu rumah tangga (pasal 31 ayat 3).

Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya (pasal 34 ayat 1 dan 2). Artinya berdasarkan ketentuan, suamilah yang bertanggung jawab menjadi tulang punggung untuk mencari nafkah. Kalaupun istri juga bekerja itu bukan suatu kewajiban.

Namun bila istri bekerja di luar rumah pun sah-sah saja, asal mendapat ijin suami dan dipastikan dapat mengatur waktu untuk berperan ganda di ranah publik, keluarga, dan anggota masyarakat. Artinya istri bekerja itu melalui proses komunikasi, supaya tidak terjadi kesalah pahaman suami istri.

Ada kesepakatan saling bekerja sama untuk mendidik anak, dan menyelesaikan urusan rumah tangga, ketika tidak ada ART. Beban berat istri yang bekerja di luar rumah menjadi ringan bila suami berperan aktif, memahami dan penuh pengertian.  

Sebenarnya istri bekerja, meniti karir selain untuk aktualisasi diri, juga menambah penghasilan keluarga karena tuntutan kebutuhan semakin beragam. Masalahnya, bagaimana bila penghasilan dan karir istri lebih besar dan lebih tinggi dari suami?. Apakah wibawa dan harga diri suami menjadi turun?

Menyikapi fenomena ini suami tidak perlu cemas, gelisah, tidak percaya diri, minder, apalagi cemburu. Sering ada ungkapan:"Dibalik suami yang hebat, pasti ada istri yang lebih hebat", bukan mustahil bila menjadi:"Dibalik istri yang hebat, pasti ada suami yang lebih hebat". Artinya antara suami -- istri itu telah memahami betul hak dan kewajiban dalam membina keluarga.

Menerapkan prinsip "saling" memberi semangat, membantu, memahami, menghargai, menghormati, toleransi, percaya, ikhlas, menjaga komitmen, menjadi kunci sukses keluarga bahagia sejahtera walau penghasilan istri lebih banyak. Artinya setinggi apapun jabatan dan penghasilan istri di luar, di dalam rumah tetap menjadi ibu rumah tangga yang baik.

Membuatkan dan menyediakan teh panas untuk suami, mengatur pola makan, tetap minta ijin suami untuk untuk urusan apapun, bersikap baik. Apabila istri tetap dapat melaksanakan kewajiban sebagai ibu rumah tangga dengan baik penuh tanggung jawab, ikhlas, maka tidak ada "stigma suami tidak becus".  

Sesibuk apapun seorang istri harus mempunyai waktu untuk suami dan keluarganya. Bukan kuantitas waktu kebersamaan, tetapi kualitas lebih bermakna. Menjalain komunikasi dengan baik, sebab bukan hal yang aneh bila suami istri satu atap, tetapi seperti orang asing. Apalagi gadget, terbukti mampu memisahkan yang dekat, dan mendekatkan yang jauh.

Coba membaca WA grup teman-teman SMP, SMA, kuliah, dan grup bentukan lainnya sangat asyik sampai lupa waktu, tetapi jarang bicara dengan suami/istri yang ada di sampingnya. Apalagi pasangan suami istri yang sudah purna tugas, mengisi waktu sepanjang hari dengan kesibukan masing-masing.

Jadi bila penghasilan istri lebih besar dan lebih tinggi kedudukannya, suami biasa saja karena istrinya tetap dapat bersikap dan menjaga perasaan suami. Hal ini karena suami istri tetap menjaga komitmen bahwa keluarga itu terbentuk sebagai ikatan lahir batin yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Yogyakarta, 16 Desember 2020 Pukul 01.47

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun