Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (pasal 1 ayat 1 UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Hak anak itu sejak dalam rahim ibunya sampai dilahirkan untuk mendapatkan hak hidup, tumbuh kembang, pendidikan, perlindungan dari kejahatan seksual dan kekerasan. Artinya hak anak itu wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyakarat, dan negara.
Masalahnya sekarang, sudahkah para orang tua, keluarga, masyarakat dan negara telah melaksanakan kewajiban untuk memberikan hak-hak anaknya?
Pasal 26 ayat 1 UU No.35 Tahun 2014, mengatakan:"Orang tua mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya, mencegah perkawinan pada usia anak, memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak".
Kewajiban dan tanggung jawab orang tua itu memang berat tetapi sangat mulia. Orang tualah yang wajib mengantarkan anak-anaknya sampai dewasa, mandiri, berpendidikan, berkarakter, dan berakhlak mulia. Artinya orang tua (terutama ibu) bukan sekedar mengandung, melahirkan dan menyusui dengan ASI eksklusif sampai usia 2 (dua) tahun.Â
Namun ibu wajib menjadi madrasah sekaligus guru yang pertama dan utama. Oleh karena itu ibu perlu berpendidikan, mempunyai wawasan dan pengetahuan luas serta semangat terus untuk belajar sepanjang hayat. Hal ini bertujuan agar anak-anaknya dapat tumbuh kembang seirama dengan tuntutan dan perubahan jaman.
Ibulah yang pertama dan utama meletakkan dasar-dasar pendidikan karakter dan budi pekerti kepada anak-anaknya. Masalahnya, tidak ada sekolah khusus untuk menjadi seorang ibu. Semua berjalan alami, sesuai pengalaman secara turun temurun. Padahal lingkungan sosial terus berubah, sehingga seorang ibu yang terdidik diharapkan dapat bertindak berdasarkan naluri, kearifan lokal, yang dipadukan dengan akal dan logika sesuai dengan eranya. Â Â
Pendidikan untuk anak laki-laki dan perempuan dalam keluarga tidak boleh ada diskriminasi. Semua berhak mendapatkan pendidikan, anak laki-laki disiapkan untuk mencari nafkah bagi keluarganya, dan anak perempuan menjadi guru bagi anak-anaknya.Â
Artinya terlalu "naif" bila mengatakan Ibu Rumah Tangga (IRT) itu sama saja tidak bekerja (bukan wanita karir). IRT bekerja di ranah domestik, diakui atau tidak justru lebih "prestisius dan mulia". Setiap saat dapat menyaksikan tumbuh kembang anak di usia emas. Sedang wanita karir bekerja di ruang publik, yang tidak mendapat kesempatan berharga, walau naluri keibuan bergejolak, dan dilematis melakukan peran ganda.
Diakui menjadi ibu itu bukan hanya mengandung, melahirkan, dan menyusui sebagai kodrat perempuan yang tidak dapat tergantikan. Namun juga mempunyai kewajiban untuk membimbing, mengajari, membersamai tumbuh kembang anak-anaknya. Selain yang 3 (tiga) tersebut, dapat berbagai dengan ayah yang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab sama. Sedang "baby sitter", sekedar pengasuh, yang dibayar, tidak mempunyai kewajiban dan tanggung jawab seperti orang tuannya. Â Â
Kalau saat ini ada anak yang mempunyai sikap, perilaku, omongan, cepat dewasa tindakannya, sudah jatuh cinta dengan lawan jenis, padahal masih kanak-kanak, semua ini dapat di telusur bagaimana cara orang tua mendidiknya. Khususnya ibu yang mempunyai andil sejak anak masih dalam rahimnya, apakah sering diajak komunikasi, mendengarkan kata-kata yang baik, sopan, musik religi. Contoh kecil dan sederhana kalau seorang ibu sejak kecil sudah mendidik anaknya membuang sampah di tempat sampah, pasti anak itu tidak akan membuang sampah sembarangan.
Orang tua yang mendidik anak-anaknya dengan pola dan gaya hidup sederhana (walau mampu), merasa cukup, selalu mensyukuri nikmatNya, maka akan timbul rasa empati, simpati, berbagi dengan senang dan ikhlas. Mengajak refreshing ke gunung, pantai, museum, kebun binatang, timbul rasa cinta tanah air dengan keaneka ragam flora dan fauna.Â
Bila orang tua memberi nasehat: "untuk ilmu lihatlah keatas, agar mempunyai semangat dan daya juang tinggi mewujudkan cita-cita. Untuk harta lihatlah kebawah masih banyak yang kekurangan, sehingga mempunyai rasa bersyukur, tidak sombong, arogan dan angkuh.
Bila orang tua yang mempunyai pendidikan tinggi akan memberikan wawasan dan pengetahuan kepada  anak-anak untuk mandiri, tidak cengeng, belajar dari pengalaman dan kehidupan nyata. Apalagi anak generasi alpha yang tumbuh kembang dengan kecanggihan teknologi yang cepat berubah.Â
Orang tua wajib mendampingi anak-anaknya bermain gadget, agar dapat mengarahkan, memilah dan memilih informasi yang bukan hoaks, sampah, sehingga tidak mudah tersulut provokasi. Anak-anak juga perlu dibekali etika, tatakrama, sopan santun, budi pekerti sebagai kearifan lokal yang dapat membentengi dari pengaruh negatif perkembangan teknologi dan informasi.
Jadi untuk menjawab pertanyaan sudahkah para orang tua memberikan hak-hak anaknya, yang paling tahu persis adalah orang tua itu sendiri. Menjawab dengan jujur, lebih baik daripada menyalahkan teknologi komunikasi dan informasi. Anak-anak sudah dapat merasakan sejak anak masih dalam kandungan saat ibunya memainkan jari jemarinya di keybord gadget.
Yogyakarta, 22 Nopember 2020 Pukul 17.38
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H