Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Libur Panjang Masa Pandemi Covid-19 di Yogyakarta

4 November 2020   19:52 Diperbarui: 4 November 2020   19:54 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: jogja.suara.com

Masa Pandemi Covid-19 masih menjadi "momok" yang mencemaskan, tidak ada yang tahu kapan berakhir. Di beberapa daerah diakui sudah memberlakukan PSBB masa transisi, Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB), dan membuka destinasi wisata agar perekonomian mulai bergerak. 

Bukan berarti mengabaikan faktor kesehatan yang tetap menjadi prioritas utama. Namun mencari rejeki ditengah pandemi juga harus berjalan, karena untuk memenuhi kebutuhan pokok yang tidak dapat ditunda.

Pemerintah pun sudah mengucurkan dana untuk menanggulangi Covid-19 bagi yang berdampak langsung, khususnya para pelaku sektor informal. Kebijakan "di rumah saja", sangat dirasakan oleh mereka yang mengandalkan aktivitas untuk mencari penghidupan yang harus dilakukan di luar rumah. 

Roda perekonomian diakui berjalan melambat, bahkan berhenti dititik nol karena semua aktivitas sekolah/kuliah, bekerja dan beribadah dilakukan di rumah.

Selama 8 (delapan) bulan masyarakat sudah terbiasa hidup bersama pandemi Covid-19. Artinya mulai melakukan kegiatan di luar rumah secara bertahap dengan protokol kesehatan ketat. Tidak boleh kendor dan mengabaikan protokol kesehatan. 

Tetap memakai masker, jaga jarak aman, menghindari kerumunan, mencuci tangan dengan sabun di air mengalir. Namun kenyataannya, orang-orang dalam menjalani kehidupan "New Normal", seperti kondisi sudah normal. Berkerumun, tidak memakai masker, tidak mencuci tangan, padahal Covid-19 masih ada disekitar kita yang tidak dapat dilihat oleh mata.   

Liburan panjang di masa pandemi Covid-19 karena cuti bersama tanggal 28 dan 30 Oktober, serta peringatan Maulid Nabi tanggal 29 Oktober 2020, tidak menyurutkan niat pergi ke luar kota. Walau ada himbauan pemerintah untuk tidak keluar kota karena masih masa pandemi Covid-19. PSBB transisi, diperlonggar, tidak ada penutupan jalan antar wilayah, sehingga leluasa bepergian antar kota dalam/luar propinsi. Walau dari kota asal, dalam perjalanan sampai kota tujuan tetap mengikuti protokol kesehatan.  

Yogyakarta menjadi salah satu tujuan untuk menikmati libur panjang karena aneka destinasi wisata yang dimiliki. Mobil pribadi berplat luar daerah mendominasi jalan-jalan sempit di kota Yogyakarta. 

Kondisi ini sebagai masa panen raya bagi para UMKM, pemilik hotel, penginapan, resto, kulineran yang selama ini sepi karena Covid-19. Tempat oleh-oleh khas Yogyakarta seperti  batik, kulit, souvenir, bakpia, yangko, kipo, emping, gudeg, ingkung dan ayam goreng dibanjiri konsumen.

Barang dagangan para pelaku usaha laris manis, habis tidak bersisa di masa pandemi Covid-19. Libur panjang diakui membawa berkah dan dapat menggerakkan roda perekonomian kembali menggeliat. Destinasi wisata laut, alam, budaya, ikon Yogyakarta Malioboro diserbu para wisatawan domestik. 

Parkiran mobil penuh, jalanan macet di setiap persimpangan, menandakan Yogyakarta sebagai tempat yang ramah, nyaman, aman untuk refreshing setelah "bosan" di rumah selama 8 bulan.

Namun sebagai warga Yogyakarta merasa "terusik" dengan berita yang berjudul:"Gila! Ada Hotel di Jogya Naikkan Tarif hingga 1.500 Persen di Libur Panjang Kali ini" (www.harianjogja.com). 

Menaikkan tarif hotel sebesar 15 kali lipat sangat tidak dibenarkan apapun alasannya. Walaupun masa pandemi Covid-19  berimbas menurunnya tingkat hunian hotel, bukan berarti dapat pasang tarif seenaknya. Hal ini justru sebagai tindakan "bunuh diri", sekaligus "iklan buruk" yang merugikan hotel itu sendiri dan citra Yogyakarta.

Tidak sepantasnya kerugian hotel dibebankan kepada konsumen yang menginap saat libur panjang.  Ulah "oknum" yang menerapkan "aji mumpung" saat libur panjang tidak dapat ditolerir. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) wajib menegur dan memberi sanksi yang berefek jera. Sangat tidak masuk akal bila biasanya tarif hotel seharga Rp 500.000,00 -- Rp 600.000,00 per malam naik menjadi Rp 8 juta.

Selain itu ada toko oleh-oleh makanan khas bakpia membuat tidak nyaman dan mengecewakan konsumen yang katanya "raja". Sebagai orang Yogya saya mengalami sendiri saat akan membeli bakpia sampai dua (2) kali datang selalu habis. Sayangnya informasi jam berapa persediaan bakpia ada lagi tidak valid dan tidak jelas. 

Pembeli tidak boleh pesan dan setiap orang dibatasi hanya 2 boks. Disaat persaingan semakin ketat, model "jual mahal" dan pelayanan tidak prima, sangat riskan kehilangan pelanggan. Apalagi kompetitor sudah melakukan model penjualan sistem online, tanpa uang muka, dan bayar secara COD. Penjualan apapun secara konvensional pasti ditinggal konsumen yang ingin praktis, cepat, mudah dan murah.

Yogyakarta, 3 Nopember 2020 Pukul 19.20   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun