Dua bulan lalu istilah "anjay" tiba-tiba menjadi viral dan bahan perdebatan publik, ujungnya KPAI turun tangan agar masyarakat tidak menggunakan kosa kata tersebut.Â
Setelah dicari dalam KBBI istilah "anjay" tidak ditemukan. Lantas apa yang salah dengan istilah itu, sampai ada yang melaporkan ke KPAI, walau akhirnya meminta maaf. Padahal yang mengucapkan tidak mempunyai tendensi apapun (tanpa maksud untuk membela), apalagi mengumpat. Istilah itu hanya untuk mengekpresikan rasa bahagia di kalangan anak muda yang sudah bersahabat, akrab. Â
Dalam tulisan ini tidak akan membahas istilah "anjay", tetapi bahasa untuk ngeblog yang sering dikompetisikan. Para juara memang pantas mendapat apresiasi karena isi tulisan itu seperti bercerita dengan bahasa sehari-hari.Â
Mengalir begitu saja dengan pilihan kata-kata yang tepat, tanpa basa-basi, natural. Dalam tulisan itu seperti ada dialog antara penulis dengan pembaca, bahasa mudah dipahami walau sejatinya membahas pengetahuan tingkat tinggi.
Istilah "ngeblog" mengadung makna aktivitas menulis artikel di layanan blogging, wordpress, typepad. Kegiatan ini seperti menulis buku harian, tentang kegiatan, pengalaman, kejadian, disekitar kita yang dibagikan secara online.Â
Blog berisi ilmu pengetahuan, tetapi ditulis dengan bahasa yang mudah, singkat, padat, jelas, sehingga cepat dipahami pembaca. Karya fiksi (cerpen, puisi, gurindam), sering mampu membuat pembaca terhipnotis, baper, dan seperti kejadian di kehidupan nyata. Â Â
Generasi milenial familiar dengan ngeblog, nampak jelas dalam karya ilmiah (skripsi) pada halaman ucapan terima kasih, dan persembahan menggunakan bahasa lisan yang dituliskan.Â
Kesannya akrab, dekat, menceritakan perjalanan jalinan pertemanan, persahabatan, kebersamaan dalam suka dan duka selama menempuh pendidikan. Namun halaman pengantar, pendahuluan, permasalahan, pembahasan, kesimpulan dan saran harus mengikuti aturan main tulisan karya ilmiah.
Disinilah para mahasiswa mulai tertatih mengatur logika berpikir untuk menulis karya ilmiah yang menjadi tugas akhir. Dosen pembimbing skripsi punya andil mengarahkan dan mendampingi mahasiswa menyusun karya ilmiah yang akan dipertahankan di depan tim penguji.Â
Artinya dosen pembimbing skripsi berkewajiban meluangkan waktu dan berbagi ilmu agar mahasiswa dalam menyusun skripsi runtut, logis dan sistematis. Diakui, masih ada dosen yang sulit ditemui saat mahasiswa konsultasi. Bahkan tidak memberi solusi tetapi memarahi dan tidak peduli.
Mahasiswa semakin tertekan saat menulis skripsi, tesis, disertasi, untuk menyelesaikan perlu waktu lama. Padahal sudah lulus mata kuliah metodologi penelitian, dan di perpustakaan disediakan buku-buku referensi tentang metode menulis skripsi, tesis, disertasi lengkap plus contohnya.Â
Termasuk  untuk menulis daftar pustakapun ada kaidah-kaidah yang harus diperhatikan. Cara mengutip karya orang lain, supaya tidak disebut plagiat, harus memperhatikan aturan main yang ada, Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), pola kalimat Subyek, Predikat, Obyek, dan Keterangan (SPOK).
Menulis karya ilmiah sangat berbeda dengan menulis blogger, yang spontan, langsung apa yang terbersit dalam pikiran ditulis. Tidak pernah ada koreksi dari segi kebahasaan, tetapi tidak dapat mengatakan sebagai ancaman rusaknya Bahasa Indonesia, mengingat tidak mempunyai kompetensi bidang itu. Pastinya yang berkompeten adalah para ahli Bahasa Indonesia, minimum yang memiliki ilmu Bahasa Indonesia.
Sedang untuk artikel para Kompasianer saya tidak bisa mengatakan tidak sesuai kaidah dan jauh dari ideal. Kenyataannya, banyak artikel di Kompasiana yang runtut dan mudah dipahami dengan bahasa ilmiah populer. Diakui para milenial menulis dengan bahasa ngeblog lebih mudah, tetapi  bagi yang tidak terbiasa menulis tetap mengalami kesulitan. Mengapa ?. Tidak terbiasa menuliskan narasi yang komunikatif dan dialogis.
Sebaliknya tulisan ilmiah populer bagi milenial kurang "membumi". Berbeda dengan ngeblog lebih mendekatkan penulis dengan pembaca. Jujur saya mengakui bahasa ngeblog itu lebih sulit, buktinya tidak pernah menjadi juara "blog competition", karena kalah bersaing dengan anak-anak milenial yang jago menulis blog. Pastinya bahasa ngeblog lebih diterima para generasi milenial daripada ilmiah populer. Sampai hari ini saya masih belajar menulis ala ngeblog, walau belum berhasil. Harus tetap semangat belajar menulis blog ternyata lebih sulit.
Yogyakarta, 12 September 2020 Pukul 13.18
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H